Senin, 28 Maret 2011

Sistem evaluasi sekolah kita sudah layakkah?



Mengingat hasil pendidikan di sekolah sekolah Indonesia hanyalah pengangguran pengangguran intelek yang bertebaran dan berseliweran dari satu instansi ke instansi yang lain dalam rangka mencari pekerjaan, dan hal ini pernah ditandai dengan rekor spektakuler , yaitu digelarnya rekrutmen kerja dari sebuah televisi swasta di Gelora Bung Karno Jakarta yang dihadiri lebih kurang 110 ribu sarjana pencari kerja beberapa tahun silam. Bayangkan saja ada lebih dari seratus ribu sarjana nganggur yg bisa dikumpulkan hari itu. Ini mungkin adalah rekor dunia yg pernah dibuat di Indonesia sekaligus potret buram hasil pendidikan kita.
Jelas ada yang tidak beres dalam system pendidikan kita, yang PAK MENTRI PENDIDIKAN dan jajarannya harus kaji ulang. Kesalahan system dan visi pendidikan ini juga ditunjang oleh buruknya system evaluasi di sekolah sekolah Indonesia. Maksud saya sistem evaluasi terhadap hasil belajar siswa yang selama ini dikembangkan di sekolah sekolah Indonesia mendorong ketersesatan pola dan sistem pendidikan bagi anak anak Indonesia semakin jauh dan makin ora genah. Ora ada juntrungannya.
Seperti yang lazim kita ketahui, sistem penilaian atau evaluasi hasil belajar disekolah selalu melibatkan pekerjaan rumah, ulangan harian, ujian tengah semester, ujian akhir semester dan yang lebih jauhl agi, Pak Mentri ikut memberi ujian pamungkas yang mereka sebut UJIAN NASIONAL.  Semua jenis ujian bagi anak anak kita mulai dari SD sampai perguruan tinggi itu semua mengandalkan test penghafalan dan mentok mentoknya pada pemahaman. Kemudian sebagai ganjaran bagi yang berhasil menghafal diluar kepala adalah NILAI YG BAIK alias yang jumlahnya besar. Sedang bagi yang gagal mengingat karena lupa belajar atau karena rumahnya sedang kerendem air banjir, atau bagi yg bernasib sial karena sedang ada trouble dirumah,  maka nilai kecil yang mereka dapat. Selain mereka nantinya pulang dengan predikat bodoh karena tak dapt ranking juga akan membawa rasa penyesalan, rasa malu, rasa tidak diperlakukan adil yang akan bermuara pada rasa rendah diri. Rasa rendah diri yang berlebihan akan membuat si anak didik terpuruk selama hidupnya karena mereka merasa tidak pintar dan tidak berguna maka mereka merasa tidak pantas untuk hidup lebih baik….Beginikah yang kita harapkan dari pendidikan kita?
Bagaimana dengan yang pintar? Yang pintar dengan keberhasilannya mendapat nilai bagus dan rangking dan didorong pujian dari sekolah dan rumah  maka mereka sudah merasa amat hebat,brilian, sehingga bukan saja mereka lupa bahwa ilmunya belum cukup banyak tapi juga sudah terlanjur jumawa dan mengecilkan orang lain. Dengan begitu ternyata secara tidak sadar arogansi juga dipupuk di dalam sekolahan. Hal seperti inilah jawaban kenapa juara olimpiade tidak lulus UN. Kesombongan membutakan mata sebaagian siswa kita yang ahli hafal menghafal. Gilanya, aku sedih untuk menuliskannya, kesombongan merupakan hasil dari pendidikan. Ironis nggak shih  mas????
Dampak sosialnya tidak kalah hebat. Banyak uang bertaburan di dunia pendidikan sebagai sogokan dari siswa buat guru ataupun dosennya agar mendapat nilai bagus, hal ini juga dilegitimasi oleh perusahan perusahaan penerima pekerja yang mensyaratkan nilai bagus. Wis edan semua. Atasa nama nilai bagus juga, siswa tidak tahu malu yang juga di dukung oleh gurunya yang tidak tahu malu yang direstui oleh kepala sekolahnya yang tidak tahu malu, pada saat Ujian Nasional cari bocoran kunci jawaban. Dan  hal ini  bisa  saja menjurus lebih kompleks dari yang kita pikirkan, takutnya bocoran kunci jawaban ini suatu saat  nanti bisa saja disutradarai malah oleh pejabat pemerintah daerah yang tidak pingin di daerahnya banyak siswa yg tidak lulus UN. yah mudah mudahn sich tidak terjadi, sebab malu kan…kalau banyak yang tidak lulus di daerah itu dan kedengaran kepala daerah yang lain? SEcara teoritis dah ketahuan bahwa lingkaran setan system penilaian sekolah ini akan menghasilkan manusia manusia Indonesia yg tidak percaya diri dan tidak beraklak yang terpuji. Kecurangan untuk mengejar nilai ini nanti pada waktunya dipraktekkan oleh siswa yang bernasib baik jadi pejabat negara untuk mencurangi APBN dan APBD. Nah  loh…Sekolah kita Cuma menghasilkan koruptor dan maling.  sungguh sangat menyedihkan bukan?
Ada baikanya kalau Secara individu sekolah atau secara nasional oleh  PAK MENTRI, mencoba merubah system evaluasi hasil belajar sekolah ini dari sistem scoring menjadi sebuah system penilaian yang AUTENTIK, sebuah penilaian yang mengukur hasil belajar siswa secara benar dengan standar yang benar dan ditetapkan secara benar, bukan system penilaian yang didasarkan hasil hapalan dan dengan standard yang tidak jelas? Kenapa system penilaian atau laporan hasil evaluasi dengn skor tidak punya standar yang jelas? Ya siapa yang bisa menjelaskan maksud dari nilai 9 atau nilai 4 untuk pelajaran bahasa Ingris misalnya?
Ingin tahu lebih jauh? Yah kami siap diskusi dengan Bapak atau ibu yang peduli dengan pendidikan negri ini dan siap juga untuk berbagi dengan bapak dan ibu guru di sekolah manapun di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Saya sangat berterimakasih kalau anda tinggalkan komentar disini / Would you please leave a comment or a critique for the sake of my future writing improvements?

Pendidikan Abad 21 Wajib Mendorong Siswa Untuk Melek Informasi.

  Sudah berulang kali penulis sampaikan bahwa pendidikan di abad 21 haruslah bersifat berbagi informasi, tidak lagi bersifat penyuapan inf...