Selasa, 09 April 2013

Program leaderpreneurship adalah jawaban dari semua penyakit sosial



Sudah berpuluh puluh tahun bangsa ini menyelenggarakan pendidikan nasional dan berkali kali juga mengganti kurikulum nasional sampai keluar jargon ganti mentri ganti kurikulum. Berita terakhir tentang pendidikan nasional ini adalah tentang akan keluarnya kurikulum baru tahun 2013 yang terkesan dipaksakan dan kurang matang. Bahakan banyak yang apatis menanggapi akan munculnya kurikulum teranyar ini. Mereka mengatakan mentri tinggal menjabat setahun kok keluarin kurikulum baru, paling nanti ganti mentri kurikulumnya tidak dipakai lagi. Mentri yang baru akan ciptakan kurikulum baru lagi sebagai penanda kehebatan mereka. Pelajar kita lah yang jadi korban kurikulum akibat angkuhnya birokrat Negara.
Dari sekian banyak kurikulum yang pernah dijajal di Negara ini selalu saja berkutat pada apa yang akan diajarkan dan apa yang tidak perlu diajarkan. Pergantian kurikulum hanya identik dengan perubahan mata pelajaran atau isi dari matapelajaran yang diajarkan. Sementara persoalan pendidikan di Negara ini jauh terletak di tepi yang yang berbeda. Tanggal 6 april minggu lalu dalam sebuah sesi tanya jawab sebuah seminar tentang “leaderpreneurship”, seorang ibu bertanya pada saya, apakah program leaderpreneurship itu adalah pelajaran tersendiri. Yah, ibu ini juga sudah terasuki bahwa program pendidikan itu pasti adaalah sebuah mata pelajaran. “Mata pelajaran ataupun apa yang diajarkan itu bukan focus kami di program leaderpreneurship”, jawab saya. “Dalam program ini penekanannya bukan pada apa yang akan kita ajarkan tapi pada bagaimana kita mengajarkannya, isi pelajaran kita serahkan pada yang berwenang, yaitu kementrian pendidikan, namun bagaimana cara mengajarkannya pada siswa, muatan karakter serta ketrampilan hidup apa yang akan kita tanamkan pada proses pembelajaranlah fokus rekayasa dalam program ini” lanjut saya.
Sidang pembaca yang terhormat, seperti yang kita ketahui sekian kali ganti kurikulum, sekolah sekolah kita hanya berganti matapelajaran yang diajarkan. Cara mengajar dan pendekatan pembelajaran yang dilakukan guru dalam kelas sama sekali tidak berubah. Betul pemerintah telah mendengungkan perubahan dalam methodology pengajaraan semacam CBSA ditahun 80an, kemudian pada tahun 2000an muncul ajakan untuk mengajar dengan cara PAIKEM bahkan ada yang melanjutkan dengan PAIKEM GEMBROT, tapi semua itu tak lebih dari teori saja. Prakteknya masih jauh panggang dari api, tak satupun guru tradisional tahu ataupun diajari bagaimanaa menghidupkan CBSA ataupun PAIKEM diruang kelas. Pada tahun 2012 pemerintah juga keluarkan jurus baru pendidikannya dengan mengajukan 18 KARAKTER yang harus diajarkan pada anak didik. Tumbuhnya kesadaran perlunya character building ini ternyata juga berhenti pada dirumuskannya 18 karakter itu, karena ternyata juga belum ada juklak bagaimana menginternalisasi karakter karakter itu pada pola pikir atau mind set siswa. Semua masih berhenti pada retorika.
Tulisan ini bukan bermaksud untuk menjelekkan pihak pihak tertentu ataupun unjuk kebolehan sok pintar. Tulisan ini adalah wujud keprihatinan pada makin terpuruknya dunia pendidikan di tanah air. Jaman dahulu lulusan S1 itu adalah graduate kita, namun sekarang lulusan S1 dimata internasional masih dipandang sebagai undergraduate. Sampai akhir tahun 80an, masih banyak mahasiswa luar negri terutama dari singapura, Malaysia sekolah ke Negara kita, sekarang kita yang kuliah ke sana. Keterpurukan pendidikan ternyata bukan berhenti pada downgrade-nya mutu pendidikan Indonesia, tapi yang menyedihkan adalah dampak psikososialnya yang mendorong munculnya masalah masalah social di negeri kita ini.  Meningkatnya kriminalitas, pengangguran, penyalahgunaan obat terlarang, kecandual alcohol dan sederet permasalahan lain maaf maaf kata adalah bukti kegagalan pendidikan kita. Hal ini terjadi karena perubahan kebijakan pendidikan selalu hanya pada perubahan mata pelajaran dan tidak pernah menyentuh aspek lain dari pendidikan yaitu aspek afektif yang berupa kebijakan menyeluruh tentang upaya pembentukan karakter dan pemberian ketrampilan hidup yang paripurna sehingga anak didik bisa menjadi anak yang life-ready seperti kata iklan susu.
Seperti yang saya singgung diatas, perubahan kurikulum selalu saja cuma jatuh pada merubah mata pelajaran, belum pernah ada itikat yang dilakukan untuk merombak seluruh tatanan pendidikan untuk disesuaikan dengan kebutuhan jaman. Artinya kurikulum boleh baru tapi pendidikan tradisionallah yang akan tetap didapat anak didik. Sementara ppola pendidikan tradisonal inilah yang selama ini jadi biang kerok gagalnya pendidikan nasional.
Yang saya maksud sebagai pendidikan tradisional adalah metode pengajaran yang dicirikan dengan hal hal berikut:
1.    Ruang kelas standard berdret deret ke belakang
2.    Pola pengajaran ceramah
3.    Siswa wajib duduk manis dibangku dan mendengarkan guru
4.    Penekanan pada disiplin sangat besar
5.    Gaya belajar yang dipakai auditori
6.    Aktifitas siswa terbatas
7.    Pola pengajaran berputar dari nulis, pidato, tunjuk jari/angkat tangan
8.    Aktifitas seragam
9.    Aktifitas siswa berdasarkan instruksi instruksi guru
10.  Ada penekanan pada siswa untuk menciptakan kelas yang sunyi.
11.  Pengajaran bersifat berurutan, logis, analitis dan matematis.
12.  Bermain pada kemampuan berfikir tingkat rendah (hafal, mengerti, menganalisa paling tinggi)
13.  Stimulasi otak rendah karena penekanan pada hafalan
14.  Evaluasi berdasar pada kemampuan menghafal terutama, dan sedikit pada pengertian.
15.  Evaluasi biasa berbentuk pilihan ganda, pilihan benar salah, soal isianpun hanya mampu dikerjakan kalau siswa hafal materi pelajaran.
16.  Siswa yang hebat adalah siswa yang mendapat skor tinggi dalam test. Itu artinya siswa yang hebat adalah siswa yang punya kapasitas hafalan tinggi.
17.  Dan oleh karena itu artinya pendidikan didasarkan pada pengembangan otak kiri.
18.  Siswa diberi ranking berdasarkan hasil test.

Gaya pengajaran dengan cirri cirri seperti di atas akan berdampak pada kebosanan siswa karena apa yang dialami siswa selama belasan tahun akan terasa monotone.  Rasa bosan yang dirasakan dalam janga yang panjang akan berakibat pada rendahnya motivasi siswa untuk belajar. Ditambah dengan ketidakmampuan sebagian siswa untuk menghafal akan berakibat pada kegagalan mayoritas siswa dalam memenuhi target evaluasi belajar. Kegagalan belajar akan menimbulkan rasa rendah diri dan hilangnya rasa percaya diri. Akumulasi dari semua itu akan menciptakan ketegangan siswa dalam belajar. Prestasi rendaha dan stress siswa ini kalau masih harus ditambah cap bodoh yang dilontarkan guru, kepala sekolah, teman dan orangtua di rumah, maka siswa yang bersangkutan akan merasakan rasa malu yang besar yang akan disusul oleh sikap apatis dan hancurnya mentalitasnya. Mereka akan merasakan sekolah bagaikan neraka, bel akhir sekolah adalah nada yang paling indah yang mereka aharap untuk segera mereka dengar. Saya yakin sidang pembaca pernah merasakan apa yang saya lukiskan ini.
Sayangnya hal semacam ini tidak pernah jadi perhatian serius pemangku kepentingan dan seluruh jajaran birokrasi pendidikan kita. Mereka asyik mengkutak kutik kurikulum, mengganti jenis matapelajaran, menambah atau mengurakan isinya dan sebodo amat dengan proses pendidikan yang akan dilakukan di sekolah.
Sementara di ruang ruang kelas, ada jutaan siswa yang sedang dalam proses dihancurkan masa depannya secara sistematis. Bagaimana tidak dihancurkan, kalau proses pendidikan yang jelas jelas hanya menghasilkan rasa tertekan dan sikap apatis pada diri siswa terus dipertahankan? Prose pendidikan yang sangat buruk ini selain akan menghasilakn prestasi yag rendah juga akan menghasilkan penghargaan diri para siswa juga rendah seiring dengan sering gagalnya siswa dalam mengerjakan test sekolah. Kesulitan belajar yang saya sampaikan ini sebuah fakta yang nyata. Masih bias dilihat disemua sekolah di negri ini.
Model pendidikan semacam ini sudah jelas tidak memebri ruaang pada para siswa untuk mengembangkan diri, bertumbuh dan berkembang. Mayoritas siswa tak akan mampu mengembangkan ketrampilan hidup dan karakter yang diperlukan untuk masadepannya. Mereka tak terbekali untuk menghadapi masadepan mereka sendiri yang masih gelap gulita didepan sana yang penuh dgn onak dan duri serta perubahan yang tak bias diprediksikan.
Bagi siswa yang pasif, mereka akan menyerah pada nasib dan memiliki kecenderungan untuk putus sekolah, tenggelam dalam kepedihan, menyesali diri, hilang percaya diri, tenggelam dalam penyalahgunaan obat terlarang, mabuk mabukan, teller untuk melupakan kepedihan hati dan kegagalannya dan berujung jadi pengangguran atau bunuh diri. Bagi siswa yang punya tenaga berlebih, yang ekstrovert , siswa yang berwatak keras, mereka akan cenderung membuat ulah sebagai manifestasi jiwa pemberontak yang meletup letup dalam dadanya. Merekalah yang pada akhirnya akan membuat onar, berani menentang institusi sekolah, melakukan bullying, terjerumus pada perkelahian masal, mabuk, kecanduan alcohol, penggunaan zat adiktif untuk menambah rasa jantan dan keberanian, lorong yang mereka tempuh bias berujung pada tindakan criminal dan jadi sampah mayarakat.
Sepertinya hal hal seperti ini bias kita saksikan sendiri di sekitar kita. Jelas sekali bagi kita munculnya segala masalah social; criminal, pengangguran, pelecehan seksual, tindak kekerasan, kecanduan, narkoba semua terpulang pada kegagalan dunia pendidikan menumbuh kembangkan siswa menjadi pribadi yang berkarakter dan mandiri. Kita semua telah lalai akan hal ini.
Program leaderpreneurship adalah salah satu program pendidikan yang layak dicoba karena didalmnya siswa tidk akan mendapat perankingan. Tidak ada siswa pintar dan siswa bodoh dalam program ini. Semua siswa sama sejajar dan berkembang bersama menggapai kemampuan dan ketrampilan hidup yang disesuaiakan dengan masa depan yang akan mereka hadapi dan pembentukan karakter unggul yang diperlukan untuk mendukung ketrampilan yang mereka punya.
Kunci dari perubahan system pengajaran bukanlah pada apa yang akan diberikan ada siswa tapi pada bagaimana cara mengajarkannya. Program leaderpreneurship telah secar sistematis merancang sebuah program bagaimana menanmakan karakter dan kretrampilan hidup yang diperlukan siswa dengan penggunaan, pendekatan project dalam pengajaran (project based learning) serta dikuatkan dengan management ruang kelas dan management tingakah laku yang terpilih dan ketat dalm pelaksanaanya.
Dalam program ini kita akan meniadakan semua cirri pengajaran tradisional di atas dan akan diganti denganPRINSIP PRINSIP DASAR PENDIDIKAN ABAD 21

Pendidikan Abad 21 Wajib Mendorong Siswa Untuk Melek Informasi.

  Sudah berulang kali penulis sampaikan bahwa pendidikan di abad 21 haruslah bersifat berbagi informasi, tidak lagi bersifat penyuapan inf...