Jumat, 18 Januari 2013

Sedikit Tentang Peraturan atau Tata tertib Sekolah.





Kalau kita mengharap keteraturan haruslah ada standard atau aturan yang dijalankan. Logika ini sudah lama berlaku dan masih berlaku sampai sekarang. Logika keteraturan memelukan aturan juga diyakini oleh sekolah sekolah kita, makanya tidak ada satu sekolahpun dimuka bumi ini yang tidak punya peratura ataupun tata tertib sekolah. Bahkan banyak sekolah yang menuliskan besar besar peraturannya didepan sekolah agar semua orang bisa membaca dan mengerti, walau tujuan yang sesungguhnya adalah agar team assesor akreditasi sekolah melihatnya. Iya nggak?
Walau membuat tata tertib sekolah adalah hal yang biasa dilakukan oleh guru dan sekoah manapun, akan tetapi sangat jarang guru atau sekolah yang berfikir apakah aturan main yang mereka gariskan itu akan bisa efektif dijalankan atau akan berakhir seperti banyak aturan yang lainnya; aturan tinggal aturan kapan dilaksanakannya kapan, itu tidak terlalu penting. Bahkan ada adagium kalau peraturan itu dibuat untuk dilanggar. Mengenaskan bukan?
Nah bapak dan ibu guru yang saya hormati, kalau bapak dan ibu ingin seluruh usaha pendidikan yang bapak dan ibu guru lakukan bermakna, tentu baapak dan ibu guru harus membuat segala sesuatu yang  dilakuan harus bermakna pula. Termasuk tata tertib yang bapak ibu buat. Kalau peraturan yang bapak dan ibu guru tetapkan tidak dilakukan secara efektif bapak daan ibu guru sudah membuka peluang untuk membuat semua yang bapak ibu lakukan disekolah kurang bermakna bagi siswa. Kalau tidak ada hal yang berarti dan bermakna bagi siswa, mereka akan meremehkan semua hal yang ada, termasuk diantaranya mereka akan meremehkan pelajaran yang ada, meremehkan gurunya dan bahkan tidak menganggap penting sekolah.  Bagaimana juga kita mengharapkan mampu mencetak manusia manusia yg berdisiplin tinggi, berkarakter baik, dan berprofil hebat, kalau tidak ada tuntunan kedisiplinan dari gurunya?
Kelemahan kita untuk secara disiplin menerapkan tata tertip atau aturan sekolah adalah karena peraturan sekolah terlalu rumit dan panjang lebar sehingga sulit untuk diingat, bahkan untuk membacanya pun ga ada yang sempat; termasuk guru gurunya. Kondisi begini akan mendorong pada pembiaran setiap pelanggaran karena gurupun akan malas mencari pasal yang dilanggar siswa. Paling mentok guru paling akan bilang ‘eitt ga boleh begitu’ sambil berlalu. Efeknya siswa merasa bahwa apa yang dilakukan masih OK maka besok pelanggarannya akan ditingkatkan kadarnya. Kekacauan yang dibiarkan dalam jangka waktu yang lama akan menjadi kebiasaan. Kebiasaan akan jd karakter. Dan karakter tidak disiplin inilah yang sekarang mendominasi watak siswa siswi kita diseluruh pelosok negri. Itu artinya tidak banyak sekolah yanh konsisten memegang teguh peraturannya.  Bolos, tidak mengerjakan PR, berani sama gurunya, tidak ada sopan santunnya, pelcehan sexsual, sex bebas dikalangan pelajar, tawuran adalah buah dari ketidakpedulian guru atas peraturan sekolah.
Nah akibat pembiaran ketidak disiplinan ini tentu tidak akan kita biarkan terus terjadi bukan? Bagaimana caranya? Ya kita mulai dari bikin aturan yang mudah dijalankan.  Dalam tulisan yang ga beraturan ini saya akan jelaskan beberapa syarat membuat peraturan sekolah yang bisa dijalankan dengan efektif.
         bisa dimengerti
membuat peraturan sekolah haruslah menggunakan kata kata yang lugas dan tidak bersayap, agar bisa dimengerti.  Dengan mudahnya aturan dipahami siswa, bukan saja siswa akan mudah menjalankan aturan tersebut, tapi juga siswa tidak akan mampu membantah kalau mereka melanggar peraturan tersebut, karena semuanya sudah jelas. Dan artinya gurupun akan dengan mudah menunjukkan kesalahan yang dilakukan siswa.
         bisa dilaksanakan
Syarat kedua peraturan adalh bahwa peraturan itu haruslah mudah dilaksanakan. Peraturan seperti “siswa harus menciptakan suasana yang kondusif untuk memperlancar kegiatan belajar mengajar” atau “Siswa dilarang mengenakan riasan yang berlebihan, tidak wajar, dan tidak sesuai dengan umurnya” adalah peraturan yang tidak jelas dan oleh karena itu akan sangat sulit dilaksanakan. Jadi buatlah peraturan yang lebih sederhana bahasanya dan bisa dilaksanakan.
          tidak melanggar kehormatan dan pribadi seseorang
Peraturan juga tidak boleh melanggar kehormatan pribadi seseorang atau golongan. Siswa siswi kita berkarakter beda dengan siswa siswi yang sekolah tahun 70-80an. Pada tahun tahun 70an mayoritas sekolah mempunyai  siswa yang homogen; dari suku yang sama, oakai bahasa yang sama, adat istiadatnya sama, kebudayaannya sama, agamanya sama, bahkan makanannya dan tingkat kelas sosialnyapun sama. Sehingga peraturan akan lebih gampang dibuat. Sekarang siswa siswi kita lebih beragam baik asal usul, kebudayaan, agama, kebiasaan, kelas sosialnya juga berlainan, oleh karena itu buatlah peraturan yang tidak menyinggung salah satu dari mereka.
         Jangan menggunakan kata “jangan” ataupun “tidak”.
Kalau saya katakan bikin peraturan jangan memakai kata “jangan” ataupun “tidak”, biasanya para guru selalu merespon dengan kalimat ‘ iya, betul karena kita harus selalu berfikir positif, positive thinking”.  Dan biasanya saya merespon balik dengan tersenyum sambil berkata, “benar sekali, kita harus selalu berfikir positif, berfikir positif akan membuat semangat kita tak pernah padam, tidak ada kata ‘putus asa”. Namun sebetulnya latar belakang dari peraturan yang tidak memakai kata “jangan” ataupun “tidak”, bukanlah masalah positive thinking.  Karena kedua hal itu berbeda dan tidak berada di kapal yang sama. Kata “jangan” ataupun “tidak” dalam peraturan itu pada galibya akan membingungkan siswa maka kita tidak boleh memakainya. Dengan berteriak “jangan berisik!” bapak dan ibu guru memang bisa mencegah siswa membuat gaduh kelas, namun siswa masih belum mengerti apa yang gurunya inginkan mereka lakukan. Coba kalau gurunya berkata ; “ semuanya duduk yang rapi dan dengarkan saya!” siswa langsung tahu apa yang harus dilakukan dan ngerti apa yang harus ditinggalkan.
         Tegas
Peraturan yang tegas adalah peraturan yang dilakukan secra efektif, artinya siapa yang melanggar akan mendapat konsekwensi dari pelanggran yang dilakukan. Oleh karena itu peraturan yang diberlakukan harus disertai konsekwensinya.
         Adil
Peraturan akan terasa adil kalau dilakukan tanpa pandang bulu, siapapun, kapanpun dimanapun peraturan dilakukan maka konsekwensi itu harus dijalankan. Padang bulu juga berarti bulunya pak guru dan bu guru, artinya pelanggran itu diketahui guru yang mana saja maka konsekwensi itu akan tetap berlaku. Sebab kalau hanya satu dua guru saja yang menjalankan peraturan dengan benar maka siswa akan membuat penilaian tersendiri pada masing masing guru. Dan ini akan tidak bagus bagi pengembangan disipilin, watak, dan tabiat siswa. Selain peraturan harus dipatuhi oleh siswa seluruh komponen sekolah juga harus seia sekata menegaka aturan tersebut.
         Konsisten
Konsisten itu bermakna konstan, tetap atau sama. Peraturan yang diberlakukan disekolah haruslah selalu konsisten, semua orang diperlakukan sama. Jangan sampai hari ini si A tidak mengerjakan PR, dia diminta mengerjakan Prnya diruang guru saat istirahat sehingga dia tidak sempat istirahat dan makan siang, besoknya si B tidak mengumpulkan PR cum diomel omelin saja atu bahkan dibiarkan saja. Ketidak konsistenan ini akan mebuat siswa tidak akan menghormati peraturan, guru dan sekolahnya. Kalau sudah begitu harapan untuk mendidik siswa kita  jadi pribadi yang matang dewasa tidak akan pernah terwujud. Dan kita akan kembali mendapati siswa kita hamil diluar nikah, atau tawuran dijalan.

Sebagai tambahan pemahaman, penulis sarankan untuk mengajak siswa membuat peraturannya sendiri dan menetukan konsekwensinya. Dengan melibatkan siswa dalam membuat aturan kita telah mengajarkan rasa tanggungjawab, kepercayaan pada diri sendiri, dan sekaligus mereka merasa dipentingkan. Begitu peraturan dan konsekwensinya jadi, siswa akan lebih merasa wajib patuh karena peraturan itu mereka yang membuat sendiri. Untuk konsekwensinya guru harus hati hati dalam mengarahkan siswa saat membuatnya. Jangan sampai konsekwensi berubah jadi hukuman yang merendahkan derajat siswanya. Untuk hal ini mungkin bisa dibaca diartikel saya yang lain, Hukuman, konsekwensi, dan siswa nakal dalam manajemen tingkah laku (behaviour management). Selamat membuat peraturan ataupun tata tertib sekolah. Semoga sukses...



Kamis, 17 Januari 2013

Pengembangan kondisi ruang kelas yang mendukung pendidikan abad 21




Maaf sekali , penulis sudah lama sekali tidak menambah tulisan, tapi syukurlah Alhamdulillah akhirnya tulisan ini bisa sampai di hadapan sidang pembaca. 

Seperti sudah berulang kali penulis sampaikan bahwa kunci keberhasilan pendidikan di sekolah adalah kemampuan guru untuk membangun dua aspek psikologis siswa di kelas yaitu; rasa aman dan nyaman.  Rasa aman yg didapat siswa akan berpengaruh pada tingkat kesiapan kejiwaan siswa dalam menuntut ilmu. Perasaan aman dan terjauh dari ancaman fisik dan ancaman mental membuat siswa bersemangat dalam belajar dan bangkit rasa ingin tahunya. Tiada kecemasan yang bersinggasana di hati membuat siswa makin berani mengeksplorasi ilmu yang mereka butuhkan dan berani mengexplorasi kemampuan diri. Sehingga sehatlah perkembangan intelektualitas, semangat dan jiwanya.
Di lain pihak rasa nyaman akan menjamin tingkat kesiapan siswa secara fisik untuk bertumbuh kembang. Kenyamanan mengindikasikan tidak adanya aral atau gangguan secara fisik pada siswa yang sedang belajar. Kenyamanan menjauhkan siswa dari keluhan dan alasan untuk tidak belajar dgn baik. Kalau dua kondisi tersebut bisa diwujudkan sekolah ataupun bapak/ibu gurunya, betapa dahsyatnya hasil pendidikan yang akan dibawa pulang oleh siswa siswinya.
Nah dalam tulisan ini, mari kita coba apa yg bisa kita lakukan di kelas untuk menciptakan kondisi aman dan nyaman tersebut demi masa depan siswa siswi kita dan masa depan bangsa ini secara umumnya. Karena pengajaran dan pembelajaran itu terjadi di ruang kelas maka tentu tidaklah aneh kalau saya katakan bahwa yang harus kita lakukan adalh membenahi kelas kita.  Kelas memang berwujud fisik namun sejatinya ruang kelas juga memiliki bagian psikisnya. Oleh krena itu untuk menciptakan kelas yang aman dan nyaman bagi siswa siswi kita, kita harus membenahi dua aspek yang melingkupi ruang kelas kita tersebut.
A.      Kita mulai dari pembenahan ruang kelas kita secara fisik dulu.
Hal pertama yang harus kita perhatikan dari ruang kelas kita secara fisik adalah tata letak atau lay-out dari perabot dan peralatan belajar lain di kelas. Karena tata letak kelas ini akan berengaruh pada kemampuan guru menangani dan mengatur kelas serta jalannya belajar selama guru itu mengajar.  Bahkan tata letak / lay-out sebuah kelas akan besar pengaruhnya pada gaya belajar siswa dan metodologi pengajaran yang akan diterapka seorang guru. Tata letak kelas yg tradisional dengan bangku yang berderet deret kebelakang  misalnya, tidak akan memungkinkan guru mengajar dengan metode active learning, atau student-centered learning. Hal ini disebakan oleh kondisi tata letak yang membuat siswa menghadap ke satu arah dan guru hanya bisa berada didepan kelas dalam mengajar. Kondisi ini lebih mendorong guru untuk ceramah ketimbang mendorong guru untuk mengembangkan metodologi pengajaran yang lain. Akhirnya mau tidak mau suka tidak suka, active learning tidak akan pernah terjadi dgn tata letak yang tradisional. Dengan begitu jelas, penulis mendorong gurur untuk mampu membuat lay-out kelas yang lebih fleksibel dan memungkinkannya siswa belajar lebih aktiv namun terasa aman dan nyaman. Sebagai panduan ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan guru dalam mendisin ulang tata letak di dalam kelasnya:
a.       Tata letak sesuai dengan kebutuhan

Tata letak mebeler dalam kelas harus disesuaikan dgn kebutuhan pengajaran. Untuk memebri ujian, untuk diskusi, untuk presentasi, untuk belajar bersama tentu membutuhkan tata letak mebeler yang berbeda. Silahkan guru dan siswa tentukan tata letaknya mebeler sesuai dgn kebutuhan tersebut.
b.      Jarak yang aman & spacious
Menata letak mebeler kelas bukan asal tidak konvensional saja, namun ada patokan yang harus diperhatikan. Jarak antara perangkat mebeler itu harus diperhatikan jangan sampai penataan yang salah membuat ruang kelas jadi sempit dan jarak antara mebeler itu jadi jarak yang tidak aman. Jraka antar mebeler harus dibuat leluasa (spacious) karena tata letak perabotan kelas tidak boleh menggangu ruang gerak guru dan siswanya sekaligus. Tata letak ruang kelas tetap harus memberi ruang pada guru dan siswa untuk bisa bergerak cepat ke segala arah. Ini penting bagi seorang guru yang harus menjaga ketenangan siswa sekelas.
c.       Perhatikan kenyamanan dalam proses belajar mengajar
Tata letak perabotan kelas juga tidak boleh membuat siswa tidak nyaman dalam belajar krn dia terjepit mebeler atau terhalang pandangannya saat belajar.
d.      Mendukung pengontrolan kelas.
Guru adalah manger kelas, dia wajib mampu mengatur dan mengontrol kondisi dan admosfir belajar dikelasnya. Tata letak perabot dan mebeler kelas harus tidak boleh menghalangi gerak guru untuk bisa mendekati semua siswanya.  Sehingga kalau ada kejadian gawat darurat guru atau siswa yang lain bisa cepat mendatangi lokasi kejadian.
e.      Pastikan semua siswa kelihatan .
Pengaturan ruang kelas juga harus masih memungkinkan guru melihat seluruh siswanya tanpa adaa yang terhalang baik oleh perabot kelas atau oleh temannya. Siswa yang terhalang dari pandangan guru akan cenderung bikin ulah atau tidak memperhatikan tugasnya (tidak on task). Dan artinya guru tidak boleh membeirakan muridnya sembunyi. Murid yang gemar duduk dibarisan belakang adalah tipe siswa yang suka sembunyi. Kalau mereka dibiarkan seperti itu jiwa mereka tidak akan berkembang dengan baik kaarena rasa tidak percaya dirinya terpupuk dengan baik dan tidak ada upaya dari gurunya untuk mengholangkan.
f.        Pastikan semua siswa bisa mengakses bahan bahan dan alat alat belajar yang ada di kelas secara mudah.
Tentu kita maklum kalau kita harus memeprlakukan siswa secara adil termasuk dalam mengunakan fasilitas dan sumber belajar yang ada di ruang kelas.
g.       Tidak ada penghalang gerak di kelas.
Tata letak harus tidak menciptakan blocking di dalam kelas yang membuat siswa mauun guru tidak leluasa bergerak.

 B. Selain aspek fisik kelas juga memiliki aspek psikis atau aspek kebatinan yang harus kita perhatikan juga.

Dalam hal penanganan aspek batiniah ini kita harus perhatikan tiga hal dibawah ini:

1.       Aspek intelektual
Dalam hal intelektualitas yang akan dikembangkan dalam kelas, seorang guru harus memastikan bahwa bahan ajarnya, selain menambah wawasan dan pengetahuan para siswanya, guru juga harus memastkan hal yang diajarkan bisa juga menyokong perkembangan disiplin dan sikap mental serta karakter siswanya. Oleh karena itu dalam mengajar guru harus menyampaikan expektasi atau harapan yang harus dipenuhi siswanya secara jelas.  Itulah sebabnya guru wajib menjelaskan apa yang akan diajarkan dan apa gunanya bila siswa menguasai hal tersebut dan seberapa jauh siswa harus memahami dan mengerti nahan ajar tersebut. Expektasi tersebut bisa dipenuhi bila mana didukung dengan tugas tugas yang menantang dan menggugah rasa ingin tahunya siswa. Guru jangan sampai terjebak dalam pemberian tugas yang kering dan membosankan pada siswanya. Kedisiplinan siswa dalam mengerjakan tugas dan belajar juga harus tetap dijaga dalam irama yang tinggi, itulah kenapa guru harus memberikan masukan yang jelas dan cepat pada semua kerjaan yang dilakukan siswanya.

2.       Aspek mental spiritual
Selain intelektualitas yang memadahi, siswa juga harus diajarkan pengembangan kepribadian, sikap dan karakternya. Semua sikap mental ini akan lengkap dan mantap apabila guru juga bisa memasukan nilai nilai spiritualitas pada diri siswanya. Sehingga siswa bisa mengembangkan rasa percaya dirinya, daya tahannya terhadap stress, kemampuan memecahkan permasalahannya berdasarkan nilai nilai religius dan spiritual yang baik.

3.       Aspek sosial
Dalam proses belajar mengajar guru juga wajib memastikan adanya aturan ataupun standard tingkah laku yang jelas pada siswanya. Sehingga siswa bisa saling menghormati dengan sesamanya dan juga tunduk patuh dan hormat pada gurunya. Untuk mengembangkan kemampuan berinteraksi dan komunikasinya, siswa wajib diberi kesempatan bekerjasama dalam proses belajarnya. Selain itu guru harus menghidupkan semangat kebersamaan, kesamaan penanganan, keadilan, semangat saling menghormati. Untuk membangun itu semua guru diharapakan banyak pengetahuannya, tidak menjaga jarak, dan cepat tanggap pada segala situasi.
4.       Aspek emosional
Secara emosional guru wajib menjaga semangat belajar, rasa ingin tahunya siswa dan yang paling penting kehormatan siswa. Oleh karena itu buatlah situasi yang nyaman dalam belajar; hilangkan suasana kompetisi dalam kelas yang akan menempatkan banyak siswa jd pecundang karena tidak bisa juara kelas atau tidak mampu mengerjakan tugas dgn sempurna. Menempatkan posisi pecundang pada siswa akan mengganngu mereka secar emosional yang akanmembuat tidak nyaman suasana belajarnya. Kenali latar belakang dan sifat masing masing siswa agar bisa menangani emosi siswa secara tepat. Kealahan kesalahan kecil yang dilakukan siswa ada;ah biasa jangan terlalu diperbesar agar tidak merusak suasana emosinya.

Senin, 07 Mei 2012

KETIDAKTEPATAN PEMILIHAN BUKU REFERENSI DALAM PELAJARAN BAHASA INGGRIS


Sebelumnya pernah saya uraikan bagaimana sekolah salah dalam mengatur dan menata pelajaran Bahasa Inggris dalam tulisan dengan judul Menyoal Ketidaktepatan Manajemen Pengajaran Bahasa Inggris di Sekolah Kita.  Dan dalam yang pendek ini saya Cuma mau berbagi pengalaman tentang kesalahan dalam pemilihan buku pelajaran bahasa Inggris yang digunakan di sekolah. Dengan harapan sebagai kepala sekolah atau sebagai guru  bahasa Inggris, sidang pembaca bisa menghindari kesalhan yang saya maksud.

Pendek kata saya menemukan ada 4 kesalahan yang tidak disadari sekolah dalam memilih Buku Bahasa inggris atau oleh pengarang bukunya itu sendiri. Kesalhan kesalhan yang saya maksud adalh sebagi berikut;


A.  Tidak sesuai dengan psikologi perkembangan anak
Seperti yang pernah saya  jelaskan ditulisan saya terdahulu, di Negara kita banyak buku pelajaran bahasa inggris yang asal tulis dan diedarkan untuk begitu saja ke sekolah sekolah kita tanpa memeperhatikan tahapan psikologis siswa yang akan menggunakan buku dimaksud. Untuk pembahasan perkembangan psikologis siswa kita bisa berkaca pada teori perkembangan  yang digagas oleh Jean Piaget (1896–1980).  Menurut Piaget ada empat tahap perkembangan psikologis manusia:
- sensorimotor stage, (lahirsampai usia 2 tahun)
- preoperational stage (2–8 tahun)
- concrete operational stage (8–11 tahun)
- dan formal stage (11–15 tahun keatas).

Masing masing tahap perkembangan mempunyai dinamika, kecenderungan dan hambatan sendiri sendiri yang berbeda satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang memeperhatikan dan menyesuaiakan tahapan psikologis siswa tersebut. Ambil contoh, anak SD sedang dalam tahap concrete operational stage dan yang mereka perlukan bahasan yg sesuai dalam belajar  dan banyak ilustrasi, model, gambar, dan kegiatan-kegiatan fisik lain, karena otak mereka belum sanggup membuat pemahaman pemahaman tingkat tinggi yang memerlukan analisa maupun abstraksi. Mereka masih memiliki kemampuan terbatas dalam pemahaman terhadap lingkungan diluar tubuh mereka. Semua hal yang bisa diindra adalah batas pemahaman dan kebenaran bagi mereka, itulah sebabnya dalam pengajaran bahasa inggris mereka juga perlu melihat, mendengar menyentuh dan mengalami langsung. Tanpa ada rangsangan syaraf di panca indranya pelajaran bahasa inggris, juga pelajaran lain, akan sia sia karena akan sangat sulit mereka mengerti dan otomatis akan sulit mereka pikirkan dan mereka hafalkan. Oleh karena itu carilah biuku buku yang memancing syaraf syaraf sensorik mereka agar pelajaran bahasa inggris bisa diterima secara penuh oleh anak anak seusia ini.
Anak dengan tingkat kedewasaan yang lebih tinggi suadah akan berada pada tahapan formal stage disini siswa sudah mulai bisa mengabstaraksi apa yang mereka dengar dan lihat dan imaginasi mereka sudah mulai mampu bekerja dengan sempurna. Buku pelajaran dengan segala macam gambar dan warna bukan sudah tidak diperlukan lagi tapi malah menggangu imaaginasi dan kemampuan abstraksi dan analisa  mereka. Buku yang cocok adalh buku yang mampu memberikan tantangan pada kemampuan analisa dan abstarksi  mereka; yaitu buku yang memebri keleluasaan mereka dalam melatih kemampuan bahasa mereka bukan dalam mengerjakan soal soal yang kaku dan mati tapi dalam mempraktekkan langsung bahasa sasaran pembelajaran mereka.
B. Tidak mendorong pada kondisi active learning.
Pelajaran bahasa inggris bukanlah pelajaran tentang ilmu penegtahuan. Bahasa inggris adalh pelajaran KETRAMPILAN. Ketrampilan tidak bisa ditransfer melalui pengajaran teoritis tapi bisa disebarluaskan dengan pengajaran yang bersifat praktis. Ibarat orang mau belajar main gitar tentu tidak cukup hanya membaca buku tentang bagaimana bermain gitar yang baik, tapi perlu kiranya kita pegang gitar dan membunyikannya agar pengajaran dan pembelajaran bermain gitar efektif dan efisien. Begitu juga belajar bahasa inggris, yang diperlukan bukanlah teori bahasa dan struktur bahasa yang rigid tapi kesempatan mempraktekan apa yg dipelajari. Oleh karean itu pastikan buku pelajaran bahasa inggris tidak hanya berisi hal hal berikut:
- Soal soal isian
- Teori struktur bahasa
- Kata kata yg harus dihapalkan
Tapi carilah buku pelajaran bahasa inggris yang menggiring pembacanya  pada situasi yang tepat yang mengharuskan orang mengucapkan ungkapan yang tepat sehingaga pembelajar bisa belajar dan mempraktaekkan bahasa inggrisnya.
C. Tidak mencakup seluruh kompetensi  bahasa
Metode Alami (Natural Method) berkeyakinan bahwa manusia belajar bahasa melalui tahapan tahapan yang berjumlah empat yaitu; mendengarkan (listening), seperti bayi yang pada awalnya mendengarkan pembicaraan orangtuanya . baru kemudian bayi akan mencoba untuk berbicara dan berakap (speaking). Setelah itu pada umunya orang akan belajar membaca (reading), kemudian setelah punya kemampuan membaca, orang akan cenderung untuk mencoba mengekspresikan diri lewat tulisan (writing). Nah tidak banyak buku peljaran bahasa Inggris yang menyediakan latihan untuk keempat komponen pokok bahasa ini. Oleh karena itu bagi sekolah atau guru bahasa inggris yang baik, cobalah mencari buku pelajarn bahasa inggris yang mampu memacu siswa untuk melatih kempat komponen bahasa tersebut.

D. Tidak mengarahkan pada penguasaan ungkapan ungkapan yg berguna.
seorang pelajar bahasa harus menguasai empat makna utama bahasa yaitu makna bahasa sebagai simbolisasi ungkapan tentang persepsi (baik/ buruk), perasaan (suka/tdk suka), rasio (benar/salah), dan keinginan (mau/tidak mau) (Nababan).  Buku pelajarn Bahasa Inggris yang baik haruslah berisi pengajaran dan pelajaran tentang ungkapan ungkapan yang terkait dengan 4 makan diatas beserta kapan dan bagaiman cara mengungkapkannya. Jangan memilih buku pelajaran dengan ungkapan ungkapan yang tidak jelas dan Cuma asal banyak tulisannnya di dalam buku.

Selamat berburu buku pelajaran yang baik….bagi penerbit buku ada baiknya ikuti saran gratis dari saya ini….

Selasa, 24 April 2012

Design Thinking: Langkah kreatif merubah paradigma manajemen konstrain menjadi daya inovasi bagi organisasi sekolah.

Artikel ini sebetulnya sudah saya kirim ke sebuah jurnal tapi kok tidak juga dimuat, akhirnya ya wis lah saya taruksini saja, siapa tahu pembacanya malah lebih banyak dan bermanfaat sehingga saya bisa dapat sedikit tambahan pahala dari usaha yang saya lakukan ini tuk meringankan beban dosa yang saya tanggung dihadapan Ilahi Robbi nantinya. :)





Pendahuluan

Ironi terbesar dalam kehidupan manusia terletak pada permasalahan yang mereka hadapi. Di satu sisi semua orang sangat tidak nyaman, tidak suka dan sangat membenci adanya permasalahan dalam segala urusannya, namun di sisi lain permasalahanlah yang sejauh ini mendorong kemajuan kehidupan manusia sedemikian pesat. Sejarah mencatat penemuan tehnologi baik tehnologi  yang sederhana maupun tehnologi yang maju, semua dipicu dari timbulnya permasalahan.
Tidak jauh berbeda dengan  aspek kehidupan manusia yang lainnya, dalam pendidikan yang namanya kendala, hambatan, permasalahan , problema, konstrain atau apalah namanya juga merupakan menu keseharian bagi para guru dan kepala sekolah serta pengambil keputusan yang lain. Mengingat sebegitu akrabnya dunia pendidikan dengan permasalahan tak heranlah kalau pada dasarnya pemikiran pemikiran manajerial selalu diarahkan pada satu titik pusat, pemecahan masalah (problem solving). Seluruh teori dan analisa manajerial didasarkan pada pengandaian adanya permasalahan. Keyakinan bahwa organisasi dalam hal ini sekolah memiliki tugas tunggal menghancurkan permasalahan dipertegas keluarnya teori hambatan (theory of constraints) yang disuguhkan Dr. Eliyahu M. Goldratt  seperti yang ditulis Dettmer, H. William (1997) dalam bukunya   yang berjudul  Goldratt's Theory of Constraints: A Systems Approach to Continuous Improvement yang dimaksudkan untuk membantu management mengurai permasalahan yang dihadapi sebuah organisasi dalam mencapai tujuan tujuannya secara berkelanjutan.
Teori konstrain yang digagas Goldratt sebetulnya hanyalah puncak gunung es keyakinan kita bahwa apa yang kita harus hadapi dan apa yang harus kita kerjakan adalah permasalahan dan pemecahannya. Jauh sebelum teori itu muncul seluruh ahli manajemen sepakat membuat teori dan menyarankan berbagai macam cara analisa yang kesemuanya, kalau diperhatikan, mengarah pada pendekatan yang langkah awalnya adalah  mencari cari permasalahan. Dengan demikian bisa dipastiakan bahwa sejauh ini didunia dan  seluruh isinya selalu dipandang sebagai masalah yang harus dicarikan jalan keluarnya. Pendakatan manajerial tradisional yang selalu menitik beratkan perhatian pada ada tidaknya permasalahan telah mendorong organisasi dan badan badan  usaha lain untuk menyibukkan diri dengan upaya mencari hambatan dan kekurangan organisasinya. Analisa SWOT yang laris manis diajarkan dibangku bangku sekolah dan perkuliahan dalam hal ini bisa kita pakai sebagai contoh bagaimana selama ini semua organisasi bisnis sibuk mencari kekurangan dan kelemahan diri.
Pencarian kekurangan organisasi baik dalam bentuk kelemahan (weakness) maupun ancaman (threat) (Kotler, 1997) pada umumnya malah membuat sebuah organisasi mengalami ketakutan yang tidak perlu. Fokus pada pemikiran tentang kelemahan kelemahan dan kekurangan organisasi yang ada, pada prakteknya bukan menjadikan organisasi mampu mengerti kondisi riil yang dihadapi dan tahu apa yang harus dilakukan, malah sebaliknya seluruh anggota organisasi dengan jelas mampu melihat kekurangan organisasi dan bukan berusaha menutup kelemahan kelemahan itu tapi malah mulai dapat angin intuk  mengeluhkan kurangnya fasilitas, kurangnya peralatan, kurangnya ketersedian bahan, lambannya aliran kebijakan, kurang tegasnya pimpinan, kurang jelasnya perencanaan dan seterusnya. Pun begitu terjadi di dunia pendidikan dalam managemen sekolah.
Alih alih menemukan kelemahan dan kekurangan sekolah bisa dipakai menjadi acuan penentuan kebijakan sekolah kedepan , kelemahan dan kekurangan sekolah malah menjadi  pelemah keyakinan dan semangat kerja , menghilangkan rasa percaya diri organisasi, tidak bisa melihat dan menghargai kemampuan organisasi, serta memperuncing silang sengketa karena saling tuduh dan melemparkan kesalahan pada pihak lain. Kambing hitam laku keras untuk menangkis tuduhan kinerja yang kurang. Timbul rasa curiga dan saling tidak percaya dan konflik adalah sesuatu yang tidak terhindarkan. Untuk pembuktian thesis ini, tolong dijawab adakah dimuka bumi ini organisasi yang kosong dari keluhan dan konflik? Mungkin kearah inilah saran agar kita selalu mempunyai fikiran positif (positive thinking)(Carnegie, 1948) itu bermakna.
Kebuntuan pendekatan manajemen tradisional dengan cara pandang pemecahan masalah ini, dipenghujung akhir abad 20 dan diawal abad 21 mendorong sekelompok jenius untuk mencoba memandang kerja sebuah organisai dengan cara yang lebih elegan, manusiawi dan lebih proporsional. Dengan kepeloporan Tim Brown, seorang CEO dari IDEO, sebuah lembaga konsultan design, muncullah pandangan baru bagaimana mengelola tantangan organisasi dengan pemikiran kreatif yang tidak mendasarkan lagi pada kelemahan organisasi yang mereka sebut sebagai berfikir design (design thinking)

 Permasalahan.
Seperti yang sudah diuraikan diatas pendekatan organisatoris tradisonal selalu mengandaikan bahwa didepan ada permasalahan dan kita harus mencari solusi terbaik dari permasalahan yang ada. Mudah sekali ditebak bahwa pada akhirnya baik pemikiran maupun solusi yang kita ambil pasti tidak akan pergi telalu jauh dari pokok persoalan yang kita temukan. Pikiran, konsep, visi, daya khayal, kreatifitas kita hanya berputar selingkup permasalahn yang kita temukan.  Kondisi ini akan membuat solusi yang kita hasilkan untuk permasalahan yang ada jadi tidak kreatif dan kebanyakan selalu berbentuk perbaikan dari kondisi yang sebelumnya, jarang sekali solusi dari permasalahan itu berbentuk inovasi manajerial. Ketidakkreatifan kita atas permasalahan organisasi ini sering kali membuat keputusan yang kita ambil tidak tepat dan pada gilirannya akan membuahkan ketidakberhasilan organisasi dalam mewujudkan tujuan (goal) bersamanya. Seluruh proses managerial itu tidak jarang diakhiri dengan penutupan organisasi atau badan usahanya.
Hal ini pernah juga disadari oleh Tim Brown yang dalam sebuah kesempatan menulis apa yang pernah disaksikannya dalam pengalaman managerialnya. Tim brown pernah bertanya kenapa bangunan yang dirancang arsitek jarang yang runtuh, dan jarang ada produk barang yang tidak berfungsi seperti yang diharapkan, tapi kenapa perancangan financial sebuah perusahaan ataupun sebuah Negara bisa ambruk padahal  mereka sama sama melalui proses perancangan (design) yang baik dan meyakinkan? Dan kitapun bisa melanjutkan pertanyaan  pertanyaan tersebut, misalnya; apakah yang salah dalam perancangan financial perusahaan, organisasi sekolah,  atau bahkan negara bila dibanding dengan perancangan sebuah bangunan atau sebuah mobil? Dan bisakah konsep perancangan sebuah bangunan atau perancangan sebuah produk tangible lainya diterapkan pada perancangan financial perusahaan atau perancangan social network, perancangan struktur organisasi, rancang bangun pemasaran desain organisasi, rencana strategis, perencanaan bisnis baru, pengembangan komunitas, perancangan manajemen sekolah dan seterusnya?

Design Thinking

Design thinking adalah sebuah metode berfikir yang mengadopsi cara seorang designer memikirkan dan mengerjakan proses kreatifnya dalam mendesign sesuatu. Perbedaan yang menonjol dari proses berfikirnya seorang designer dibanding proses berfikir pada umunya adalah bahwa dalam proses kreatifnya, designer tidak memulai pemikirannya dengan pendekatan permasalahanya apa (problem -centered approach) melainkan memulai proses kreatifnya melalui empathy terhadap kebutuhan manusia. Design thinking tidak mengajarkan mencari akar permasalahan dan menemukan solusinya, namun secara unik designer dengan empathinya akan mencari kebutuhan mendasar manusia dan sama sekali tidak perlu tahu permasalahannya . Oleh karena itu dalam design thinking seorang pemikir design akan merumuskan kendala yang akan dihadapi dalam proses kreatif dan  inovatifnya secara lebih hati hati. Pemilihan kata dalam merumuskan kendala awal proses kreatif sangat penting agar tidak terjebak pada pemikiran negative. Kalimat “ bagaimana cara memindahkan orang dengan lebih nyaman” akan lebih bagus jadi pilihan dari pada mengatakan  “mobil ini ternyata terlalu keras sehingga penumpang tidak nyaman berkendara”, atau “apa yang dibutuhkan seorang siswa untuk bisa belajar dengan baik?” akan lebih elegan dari pada menyatakan “sekolah ini tidak memeberi rasa nyaman dan aman untuk belajar siswa”.
Dengan begitu jelas bahwa design thinking tidak terfokus pada permasalahan, tapi mengarahkan segenap kemampuan pada upaya mencari solusi agar kehidupan manusia lebih baik, selain itu design thinking juga tidak meributkan bagaimana mencari solusi atas sebuah masalah, tapi mengutamakan tindakan nyata yang cepat untuk mendapatkan solusi bagaimana membuat sejahtera kehidupan manusia. Dalam bekerja pemikir design bukan saja melibatkan pemikiran tapi juga analisa dan bahkan khayalan untuk mencapai tujuannya.
Karena design thinking tidak terfokus pada permasalaham dam kelemahan maka, proses manajerial yang didasarkan pada design thinking ini akan terlihat lebih fleksibel gerak langkahnya. Fleksibilitas berfikir design ini disebabkan karakter karakter positif yang menyertai gaya manajerial anyar ini seperti, pandangan yang lebih obyektif, ketelitian dalam detail, kemampuannya menampung pertanyaan yang paling menggelikan sekalipun, keluasannya dalm menjembatani ide paling konyol sekalipun, keberanian ambil resiko dan kesempatan yang luas akan munculnya ide ide baru yang brilian. Semua hal ini bisa muncul pada pemikiran design karena gaya pemikiran ini tidak terfokus pada masalah  tapi terfokus pada upaya mencari cara mensejahterakan manusia. Jadi pemikiran pemikiran positiflah yang mendominasi prosesnya dan bukan ketakutan seperti saat pikiran terpusat pada permasalahan.
Tentu saja, sebagai sebuah metode berfikir, design thinking dalam berkreasi dan inovasi tidaklah tanpa batasan.  Karena proses berfikir kreatif yang tidak ada rel dan batasannya akan cenderung terlalu tinggi awan dan tidak lagu menginjak bumi sehingga tidak realistis dan tidak bisa diwujudkan. Untuk menjaga kerealistisan ide yang dihasilkan, proses berfikir design mempunya tiga rambu rambu yang harus diperhatikan seperti gambar berikut:



Seperti yang terlihat pada iliustrasi diatas dalam berkreasi dan berinovasi seorang pemikir design akan memulai proses kerjanya berdasarkan tiga hal pokok. Pertama tama seorang pemikir design akan mengobservasi permasalahan yang ada un tuk dikembangkan bukan pada pencarian kekurangan dan kelemahan organisasi tapi permasalahan yang ada akan dilanjutkan pada langkah observasi pasar untuk mencari tahu apa sebenarnya yang dibutuhkan orang untuk menunjang kesejahteraan hidupnya (desirability) setelah kebutuhan pasar ditemukan maka disusunlah rumusan permasalahan yang ada dengan kalimat dan kata kata yang tepat agar tidak terjadi kesalahan implementasinya nanti.
Setelah kebutuhan pasar didapat dan telah terumuskan dengan baik, seorang pemikir design akan segera memikirkan ketersedian tehnologi yang akan mendukung proses kreatif dan inovatifnya (Feasibility) sebab ide yang terlalu tinggi dan tidak punya dukungan tehnologi yang memadahi cenderung akan mubadzir dan tidak bisa diimplementasikan. Dan yang terakhir, seorang pemikir design tidak akan membuat ide yang berada diluar kemampuan financial dan dukungan strategi organisasi (viability). Dengan berpatokan pada tiga hal ini seorang pemikir design akan berkarya mengolah kemampuan kreatif dan inovatifnya. Design thinking mengandaikan semua hal masuk akal dan bisa dilaksanakan. Hal ini sesuai dengan misi berpikir desain yang berupaya menubah observasi menjadi inspirasi yang selanjutnya inspirasi akan dijadikan produk atau jasa yang diharapakan mampu meningkatkan kualitas kehidupan dan kesejahteraan manusia (Brown, 2008)
Perbandingan Design Thinking dengan Managemen berbasis Konstrain.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya seluruh teori managemen dibuat dengan mengandaikan adanya masalah yang dihadapi organisasi, sehingga seluruh gerak langkah organisasi semua terfokus pada pencarian pemecahan masalah. Hal ini membuat organisasi dan  orang orang yang ada di dalamnya jadi kurang kreatif dan tumpul kemampuan inovasinya. Sementara perekonomian ke depan harus sudah tertumpu pada perekonomian kreatif karena sumber daya alam sudah semakin langka (Toffler, 2004) . Dengan begitu mengandalkan manajemen yang terfokus pada pencarian dan pemecahan masalah akan bermasalah besar di dunia usaha di masa mendatang. Sekolah sebagai sebuah oraganisasi tentu juga akan merasakan hal yang sama. Sepuluh tahun yang lalu boleh jadi organisasi/ sekolah yang menguasai informasilah yang akan Berjaya. Semakin banyak informasi yang didapat makin kokohlah sebuah organisasi usaha/sekolah, oleh karena itu tehnologi informasi yang mampu menyediakan real time information laris manis diborong perusahaan dan sekolah sekolahpun tak ketinggalan menyediakan internet di dalamnya. Namun sekarang berbeda perekonomian sudah bergeser pada kreatifitas. Artinya makin kreatif seseorang atau organisasi makin tangguhlah mereka. Saat perekonomian mengandalkan capital, siapa besar siapa yang kuasa, saat informasi jadi landasan jargon bergeser menjadi siapa cepat siapa dapat. Namun  saat kreatifitas menjadi raja, yang besar dan cepat tidak akan dapat apa apa, yang kreatif dan inovatiflah yang berjaya. Oleh karena itu sudah waktunya menggeser manajemen berbasis pada masalah ke perekonomian yang berbasis pada kreatifitas  seperti yang dipaparkan Daniel  L.  Pink  (2005). Dan sekolah sebagi sebuah organisasi harus juga bergeser pada fenomena perubahan managerial ini.
Theory of Constraints sebagai puncak gunung es managemen berbasis pemecahan masalah, dengan sangat jelas menerangkan bahwa perusahaan itu pasti bermasalah yang digambarkan sebagai mata rantai terlemah (the weakest chain) dan andai mata rantai terlemah itu diperkuatpun, menurut teori ini permasalahanpun akan bergeser karena pasti selalu ada rantai yang paling lemah. Terus kapan kita bisa bebas dari memikirkan masalah?  Kapan pula kita bebas berkarya tanpa dihantui rasa lemah dan bermasalah?
Berbeda dengan pemikiran design yang  menekankan pada kreatifitas. Hal pertama yang dicari permasalahan yang dihadapi perusahaan bukanlah pada permasalahannya itu tetapi pada apa yang sebenarnya di inginkan manusia. Gerak langkahnya bukan ditentukan permasalahannya tapi ditentukan oleh keinginan manusia. Bukan berorientasi pada permasalahan tapi pada manusia dan keinginannya. Fokusnya bukan pada pemecahan masalah tapi pada tindakan dan proses kreatif.
Dalam proses kreatifnya pemikir design akan melalui tiga tahapan pokok inovasi; pencarian ilham (Inspiration), Pengembangan gagasan (Ideation), dan upaya mewujudkan dalam tindakan  (Implementation) (Brown, 2008), yang bisa dijelaskan sebagai berikut:
inspirationinspirasi didapat dari permasalahan atau keinginan orang yang belum terpenuhi, dalam design thinking permasalahan dan hambatan tidak dilihat sebagi permasalahan tapi dilihat sebagi keinginan yang belum terpenuhi  dan dijadikan motivasi atau kesempatan untuk mengasah kreatifitas memenuhi harapan  itu, sehingga hasil akhirnya nanti bukan sekedar bisa mencari solusi bagi permasalahan tersebut tapi bisa menghasilakan inovasi baru. Tahapan ini mengharuskan pemikir design mengeksplorasi keinginan dan harapan orang yang terkait dengan permasalahan yang ada, pemikir design berfikir dengan empathy, mencoba memandang permasalahan dengan sudut pandang orang lain, bukan berfikir tentang solusi atas permasalahan dengan pemikiran sendiri,  kemudian merumuskan arah pemikiran  kreatifnya, membuat pertanyaan pertanyaan, mengumpulkan masukan masukan, membuat sketsa, membangun scenario dan perancangan.
ideationpada langkah kedua ini pemikir design akan melewati tahap dimana proses design thinking sampai pada langkah penelusuran dan pembangkitan gagasan. Setelah beberapa gagasan opsi diketemukan, pemikir design akan memilih yang terbaik untuk dikembangkan dan dibuatkan prototype, setelah prototype tersedia pengujian atas prototype tersebut adalah hal  penting berikutnya yang harus dilakukan. Pengujian model atau prototype  ini jadi tema sentral pemikiran design karena design tinking mempunyai komitmen untuk bekerja semaksimal mungkin untuk kesejahteraan lahir dan bathin manusia. Keseimbangan antara fungsi fungsi praktis dan daya tarik emosional atas inovasi yang akan dimunculkan adalah hal yang penting untuk dipertimbangakan dalam gerak langkah pemikir design.
implementation: langkah terakhirnya adalah memastikan bahwa gagasan yang diolah dan dimodelkan sudah tepat, diterima pasar, dan bisa dibuktikan bahwa prototype yang ada memang handal. Dilangkah terakhir ini pemikir design dituntut mampu mengkomunikasikan temuannya pada seluruh stakeholders bahwa ide itu memang OK dan bisa dilempar ke pasar. 
Dengan begitu secara keseluruhan design thinking akan mengarahkan semua orang jadi kreatif dan inovatif tanpa dibebani masalah rasa tidak percaya diri dan PR yang berat karena selalu dibayang bayangi permasalahan organisasi yang perlu dicarikan solusi.  Untuk memberi gambaran yang lebih jelas dan lebih penuh akan manfaat berfikir design, ada baiknya kita menengok sebentar proses kerja yang ditawarkan Theory of constrains sebagi perbandingan.
Theory of Constrains (Goldratt, 1986) menawarkan langkah solusi dari permasalahan sebagai berikut:
  1.  Mengidentifikasi hambatan; mencari sumber masalah atau kesalahan kebijakan  yang mengahambat oraganisasi menggapai tujuan tujuannya.
  2. Memutuskan bagaimana melenyapakan hambatan dengan meningkatkan kapasitas pada pada proses produksi yang terkendala masalah.
  3. Mengesampingkan semua proses lainnya dalam rangka mendukung keputusan untuk meningkatkan salah satu rantai proses yang terkendala.
  4. Menghilangkan permaslahan yang ada dengan membuat perubahan pada mata rantai proses yang bermasalah.
  5. Kalau dari prose situ ternyata permasalhannya pindah tempat, kembali lagi ke tahap pertama
Dan untuk diketahui, berdasarkan theory of constrains permasalhan itu memang akan pindah tempat. Jadi permasalahan itu langgeng adanya Cuma tempatnya yang berbeda. Dengan pemahaman hidup yang penuh masalah begini, organisasi mampu bertahan tetap hidup saja adalah sebuah keberuntungan, mengingat organisasi tersebut tentu akan berisi orang orang yang tidak percaya diri dan saling menyalahkan atas permasalahan yang selalu timbul. Kemajuan, kreatifitas dan inovasi apa yang bisa diharapkan dari organisasi yang selalu merasa bermasalah?

Kesimpulan.
Di dunia yang sudah tidak mudah lagi mendapatkan sumber sumber daya alamiah, tidak bisa lagi kita menggantungkan proses ekonomi pada bahan mentah dan bahan alam lagi, kalau sebuah sekolah kita tidak bisa lagi hanya mengandalkan pada bagusnya gedung dan fasilitas. Ekonomi kreatif adalah jawaban atas langkanya bahan bahan mentah tersebut dan pendidikan serta pengajaran yang kreatif lah jawaban dari seluruh permasalahan organisasi sekolah. Untuk bisa membuat sebuah organisasi menjadi organisasi yang kreatif dan inovatif diperlukan sebuah pendekatan mamanjemen yang tepat. Pendekatan manajerial yang tidak berfikir sempit dan menyudutkan anggota organisasi pada jerat merasa bermasalah, merasa ada yang tidak beres baik pada diri anggota tersebut maupun pada organisasi yang menaunginya. Kepercayan yang seperti ini akan mematikan kreatifitas anggota organisasi karena mereka dibuat tidak percaya diri karena merasa memikul kekurangan dan kelemahan. Design thinking menawarkan paradigm baru dalam memandang permasalahan. Dimana permasalahan tidak dipandang sebagi Sesutu yang seram yang harus segera dibasmi, tapi permasalahan dianggap sebagi peluang atau undangan untuk berkarya dengan imaginasinya, dengan kreatifitasnya dan dengan daya inovasinya.
Dengan design thinking kita bisa meramalkan dan memvisualisakan masadepan lewat inovasi. Dengan demikian organisasi ataupun sebuah sekolah mampu menentukan strategi pengembangan dimasa mendatang bukan sekedar bisa menutup kekurangan dimasa kini seperti yang dianjurkan teori kendala. Selain itu dengan inovasi organisasi diharapkan mampu menciptakan pasar pasar baru dari produk produk yang baru juga dan sebuah sekolah mamapu menghasilkan best practices pendidikan dan pengajaran yang terbarukan setiap saat. Dan bahkan tidaklah sulit pemikir design untuk menciptakan model bisnis yang baru, demikin juga seorang guru dengan pemikiran design ini, tentu akan dengan mudah menemukan variasi variasi pengajaran yang baru dan bahkan terobosan baru di dunia pendidikan dan pengajaran.

Kepustakaan.
Brown, T. (2008). Design Thinking. Havard Business Review, 
Carnegie, Dale (1948), Petunjuk hidup tentram dan bahagia, Jakarta , PT Gramedia Pustaka Utama.
Dettmer, H. William. Goldratt's Theory of Constraints: A Systems Approach to Continuous Improvement. Milwaukee, WI: ASQC Quality Press, 1997.
Goldratt, Eliyahu M. (1986). The goal: a process of ongoing improvement. [Croton-on-Hudson, NY]: North River Press
Kottler, Philip (1997) ,  Manajemen Pemasaran, Jakarta , Prenhallindo PT
Pink, D.H. (2005). A Whole New Mind: berpindah dari jaman informasi menuju jaman konseptual. Jakarta. Penerbit Dinastindo

THE GREATEST LOVE OF ALL

sesekali yah kita bicarakan hal hal ringan tapi bermutu, seperti membicarakan lagu yang sangat bagus ini.


Kalau akhir akhir ini pemerintah Indonesia masih meraba raba bagaimana memberikan pendidikan terbaik bagi putra putri bangsa dengan mencoba mengeluarkan jurus pendidikan karakter dengan konsep yang tidak jelas dan juga tak dibarengi konsep implementasinya, yang membuat kebijakan itu seperti tidak menginjak tanah, di suatu tempat yang lain seorang seniman, musisi kelas dunia dari amerika malahan sudah lama menunjukkan bagaimana mendidik anak yang baik.  

 Coba simak bait bait syair lagu dibawah ini. Kalau kita cermati lagu ini mengajarkan pada kita bagaimana mendidik anak  yang benar.
Pendididkan menurut lagu ini haruslah ditujukan pada pengembangan sesutau yang ada didalam diri kita, “ Show them all the beauty they posses inside”. Inilah pendidikan karakter itu. Pendidikan karakter hanya akan berhasil bila kita “Give them a sense of pride to make it easier” membuat mereka menyadari harga dirinya. Bagaimana dengan kita? Perasaan guru guru dan orang tua indonesia lebih cenderung membuat anak menjadi robot yang penurut ketimbang jadi manusia yang punya harga diri. Bahkan ada kecenderungan harga diri siswa dihancurkan demi mereka menjadi anak yang penurut, tidak nakal.....hadewhhhh.

Selebihnya lagu ini juga mendorong untuk memberikan dan mengajarkan kemandirian pada siswa. Gagal dan berhasil tidaklah penting yang penting adalah kegagalan dan keberhasilan itu adalah hasil usahanya sendiri, dibawah keyakinannya sendiri. Kita di indonesia di negri tercinta yang korupsi sudah dilakukan seperti kita bernafas, malah masih sibuk nyari contekan dan bocoran kunci jawaban UN. Modar aku....
Cape ahhh nikmati sendiri saja yah lagunya....dan resapi maknanya. yakin...anda sebagai seorang guru akan ngerti pesan dari lagu ini





THE GREATEST LOVE OF ALL
Written by Dolly Parton/Sung by Whitney Houston

I believe that children are our future. Teach them well and let them lead the way
Show them all the beauty they posses inside. Give them a sense of pride to make it easier
Let the children’s laughter remind us how we used to be.
Everybody’s searching for a hero. People need someone to look up to
I never found anyone who fulfills my needs. A lonely place to be
And so I learned to depend on me
I decided a long ago. Never walk in anyone’s shadow
If I fail.  If I succeed.  At least I live as I believe
No matter what they take from me. They can’t take away my dignity
Because the greatest love all is happening to me. I’ve found the greatest love of all inside of me
The greatest love all is easy to achieve. Learning to love yourself.  It is the greatest love of all
And if by chance that special place that you’ve dreaming of leads you to a lonely place
Find your strength in love.

Pendidikan Abad 21 Wajib Mendorong Siswa Untuk Melek Informasi.

  Sudah berulang kali penulis sampaikan bahwa pendidikan di abad 21 haruslah bersifat berbagi informasi, tidak lagi bersifat penyuapan inf...