Rabu, 11 Desember 2013

Pengajaran Bahasa Inggris: Bisakah orang yang tidak bisa berenang mengajar berenang?

Sudah beberapa bulan ternyata saya tak menambah tulisan baru pada blog ini, sidang pembaca setiap hari cuma saya sugguhi tulisan lama saja, untuk itu saya selaku penulis blog ini mohon dimaafkan sebesar besarnya.
Saat ini saya berniat untuk menulis lagi untuk siding pembaca yg sudi bertamu diblog sederhana ini. Untuk memulai menulis saya tidak bermaksud untuk menulis hal hal yg spektakuler atau hal hal yang besar, rumit dan perlu pemikiran berat, topic ringan saya kira cukup baik untuk memulai budaya menulis lagi. Saat ini tepatnya saya hanya ingin curhat ketimbang ingin menulis artikel. Dengan harapan walaupun ini cuma sekedar curhatan tapi saya berharap semoga jadi pemikiran kita bersama, orang orang yg memeprhatikan dan terlibat dalam proses pendidikan di tanah air kita.
Pada beberapa waktu yang lalu saya sudah sampaikan bahwa sekolah sekolah di Indonesia masih sering menempatkan orang yang salah sebagai guru Bahasa Inggris. Kesalahan memilih guru ini menjadikan jarang ada sekolah yang memiliki guru bahasa Inggris yang kompetensinya cukup sebagai seorang pendidik.  Hal ini bisa kita ketahui dari penelitian  Chodidjah (2000),pelatih dari British Council yang melaporkan bahwa dari hasil penelitiannya di dapati bahwa di daerah DKI hanya 20% guru Bahasa Inggris yang benar-benar layak sebagai guru. Hal ini sudah saya sampaikan di tulisan saya diblog ini dengan judul Menyoal Ketidaktepatan Manajemen Pengajaran Bahasa Inggris di Sekolah Kita. Di artikel ini sudah saya sampaikan bahwa kesalahn penulisan guru yg berkualifikasi rendah akan berakibat pada tidak tuntasnya tujuan pendidikan dan itu artinya akan memperbesar prosentasi kegagalan pendidikan dan pengajaran kita.
Terkait dengan hal ini, saya jadi teringat ucapan Pak Jaitun HS, pemilik dan pendiri Universitas Budi luhur, Jakarta. Pada sat itu beliau bertanya apakah mungkin orang yang tidak bisa renang mengajar renang. Pertanyaan ini ditujukan pada para dosennya dilingkungan Universitas Budi Luhur agar mau meningkatkan qualitas diri. Pertanyaan itu sederhana memang, tapi mak jleb nusuk ke hati bagi yg tidak berkualitas tapi jadi pengajar. Dan bagi kita pengguna hasil pendidikan, orangtua siswa tentu juga akan tersadar bahwa sangat penting untuk mencari guru yang berkualitas bagi anak anaknya untuk mendapatkan keyakinan bahwa si ank akan mendapatkan pendidikan yg tepat.
Nah hari ini saya mendapatkan bukti dari apa yang dikatakan kedua tokoh di atas. Saya sebagai orangtua sangat terperanjat mendapati ada soal ujian bahasa inggris yang dikeluarkan sebuah UPTD penuh dengan kesalahan. Dari sekitar 35 soal ujian ada puluhan kesalahan yang dibuat. Saya sangat yakin kalau soal soal ujian bahasa inggris ini bukan saja dibuat oleh satu orang guru bahasa inggris, tapi sudah pasti dibuat oleh sekumpulan guru bahasa inggris satu kecamatan. Setelah soal jadipun pasti sudah direvisi oleh coordinator pembuatan soal UPTD atau orang yg sederjat dengan itu, namun kenapa kesalahan masih sangat banyak kita temui di soal ujian tersebut. Bukan bermaksud sok tahu, sok hebat, pamer kebisaan. Namun kesalhan soal bisa membawa keslahan pada pengisian soal. Siswa yang seharusnya pintar bisa malah jadi salah mengerjakan. Atau ada beda persepsi antar siswa dan guru yang mengkoreksi sehingga yang seharsunya jawabnasiswa juga benar jadi disalahkan. Kesalhan kesalhan seperti ini akan membawa dapak tidak baik bagi siswa. Selain dampak psikologis juga berdampak makin tidak pahamnya siswa terhadap pelajarn bahasa inggris itu sendiri. Persis seperti kata Pak Jaitun bagaimana orang tidak bisa berenang diharapakan jadi guru renang, bukannya muridnya jadi juara renang tapi malah keblebeg dan mati.
Biar saya tidak dibilang mengada ada saya coba berikan contoh beberapa keslahan yang ada seperti di foto foto dibawah ini;

coba kita perhatikan dari bacaan dalam bahasa inggris di atas. kesalahan yang paling mudah ditunjuk adalah kalimat ke empat dari paragrap ke dua. kalimat itu seharusnya she is explaining about... karna kalimat itu dalam bentuk present continuous tense, tapi faktanya di bacaan itu kaliamat itu ditulis she explaining... belum kesalhan diksi atau pemilihan kata dalam kalimat seperti kata "studies" di kalimat  kedua, paragrap pertama, yang akan lebih baik kalau kita katakan 'she goes to an elementary school". juga kata 'learning" pada kalimat pertama paragrap kedua yang sepertinya akan lebih enak kalau diganti dengan 'studying". lihat juga pertanyaan pertama 'what is dina?" sejak kapan ada manusia ditanyakan dengan kata "what"? bagaimana dengan pertanyaan ke 4? ada dua "is" dalam pertanyaan tersebut. sedang bentuk present continuous yang seharusnya digambarkan dengan menambah akhiran -ing pada kata kerjanya tidak dilakukan. pertanyaan itu seharusnya "what is she explaining about?' dan tentu bukan "what is she explain is about?" seperti soal diatas bukan?

lihat pertanyaan nomer delapan untuk gambar kedua ini. soal ini sama sekali tidak ada jawabannya. kalimat itu membutuhkan kata kerja untuk melengkapinya, tapi pilihannya semua kata benda. baru sampai soal nomer 8 saja keslahan sudah segitu banyak. bisa dibayangkan berapa banyak kesalahan kalau kita lihat sampai soal no.35? dan memang kesalahan betebaran dalam soal yang dikeluarkan sebuah UPTD di Kota dekat Jakarta ini, cuma akan terlalu banyak kalau saya foto satu persatu bukan?

Kenyataan ini menurut saya sangat tragis; bagaimana orang orang yang tidak paham bahasa inggris harus mengajar bahasa inggris dan membuat soal ujian untuk menentukan kemampuan siswa dalam berbahasa inggris? Pendidikan yang model seperti apakah yang sebetulnya kita rancang dan kita berikan pada anak anak kita ini? Semoga hal ini cepat jadi perhatian pemerintah agar siswa mendapat pendidikan bahasa inggris yang baik serta ke adilan dalam penilaian kemampuan mereka berbahasa inggris. Jangan sampai ada anak yg pintar ternilai buruk gara gara soalnya yg salah dan guru yang mengkoreksi hasil ujiannya tidak punya kemampuan di bidang ajarnya.


Pendidikan Abad 21 Wajib Mendorong Siswa Untuk Melek Informasi.

  Sudah berulang kali penulis sampaikan bahwa pendidikan di abad 21 haruslah bersifat berbagi informasi, tidak lagi bersifat penyuapan inf...