Selasa, 04 April 2023

Konsekuensi Dalam Bentuk Penguatan Positif Dan Penguatan Negatif Dalam Penanganan Siswa Bermasalah

 


Konsekuensi adalah segala sesuatu yang terjadi setelah sebuah perilaku atau sikap dijalankan atau dipraktikkan. Konsekuensi dapat diketahui dengan mengamati apa yang terjadi segera setelah perilaku tersebut ditunjukkan. Itu kalau kita melihat konsekuensi yang terjadi secara alami. Namun di ruang kelas kita, konsekuensi tak perlu menunggu rangkaian proses alami terjadi dengan sendirinya. Konsekuensi di dalam kelas bagi siswa bisa kita ciptakan dan rencanakan. Bahkan konsekuensi bisa kita bentuk dengan kesepakatan dengan seluruh siswa di ruang kelas. Oleh karena itu konsekuensi dalam rangka behavior management dapat berupa suatu barang, orang, tempat, objek, peristiwa, tanggung jawab, pujian, hadiah atau perilaku lainnya yang terkait dengan perilaku yang ditunjukkan pada peristiwa sebelumnya (antecedent-nya)

Untuk  memberikan konsekuensi terhadap rangkaian perilaku yang terjadi dengan tepat, kita perlu memahami konsekuensi secara lebih mendalam. Konsekuensi sebagai akibat dari sebuah tindakan, menurut Karen malm, dapat difungsikan dalam tiga hal terhadap pelaku dan perilakunya:

(a) konsekuensi bisa dipakai sebagai tanda persetujuan kita atas perilaku yang ditunjukkan dan kita ingin siswa mempertahankan mempertahankan perilakunya tersebut.

(b) konsekuensi yang kita berikan pada siswa di kelas juga bisa dipakai untuk meningkatkan pencapaian ataupun perilaku siswa yang baru saja ditunjukkan.

(c) konsekuensi juga bisa dimaksudkan untuk menurunkan dan meniadakan lagi tingkah laku tertentu dari siswa di kelas kita. Tentu saja yang harus kita turunkan atau tiadakan adalah tingkah laku yang kurang pantas (misbehavior) dari siswa kita.

Dengan begitu jelas bahwa konsekuensi itu ada dua macam; ada konsekuensi negatif dan ada konsekuensi positif. Konsekuensi positif di dunia sekolah biasa juga disebut sebagai penguatan positif, konsekuensi negatif biasa juga disebut penguatan negatif. Konsekuensi yang meningkatkan atau mempertahankan suatu perilaku yang disebut "penguatan positif" bisa mudah dipahami dan dilakukan oleh guru. Selain itu, memberikan penguatan pada perilaku siswa yang sudah baik itu relatif lebih mudah; guru cukup memberikan hadiah, pujian, perhatian atau hal sejenisnya yang bisa dirasakan sebagai hal yang positif dan menyenangkan bagi siswa, maka siswa pun otomatis akan tahu bahwa tingkah lakunya ternyata sudah benar dan mendapat dukungan guru.

 Namun penguatan negatif masih sering disalahpahami oleh sebagian guru. Banyak guru yang salah mengira bahwa penguatan negatif adalah memberikan hukuman  atau melakukan sesuatu yang tak mengenakan kepada siswa agar dia berhenti berperilaku buruk atau jera melakukan perbuatan buruk tersebut. Tentu saja hal ini adalah salah, hukuman tak pernah bisa membuat jera siswa. Yang ada siswa malah main tertantang untuk meningkatkan intensitas kenakalannya. Selain itu konsekuensi tujuannya haruslah bukan untuk membuat jera, tetapi membuat siswa memahami kesalahannya dan tahu bahwa mereka harus selalu bersikap dan berperilaku yang bertanggungjawab. Bukankah yang seperti ini tujuan pendidikan itu? Nah dengan demikian penguatan negatif haruslah diartikan sebagai upaya untuk menghentikan dan menghilangkan perilaku negatif siswa dengan cara menghilangkan stimulus yang mendorong siswa untuk berbuat dan berperilaku negatif.  Itulah kenapa seorang guru harus jeli membaca situasi dan kondisi sehingga bisa mengidentifikasi anteseden ataupun stimulus lain yang akan mendorong perilaku negatif siswa. Kemampuan identifikasi stimulus negatif ini harus segera diikuti dengan kemampuan menghilangkan stimulus itu dari dalam kelas kita agar kita mampu meningkatkan kualitas perilaku dan tingkah laku siswa di dalam kelas. Inilah yang disebut dengan penguatan negatif itu.

 

Minggu, 02 April 2023

Mengapa Tangan guru Perlu Dilipat Ke Belakang Saat Menangani Siswa Bermasalah?

 


Memang jadi seorang guru yang baik dan benar itu tidaklah mudah, banyak hal kecil kecil dan detail yang perlu dimengerti dan dipahami oleh seorang guru agar dia benar benar mampu bersikap dan bertindak sebagai guru yang profesional dan tahu apa yang harus dilakukannya.  Mungkin di profesi yang lain tidak perlu memperhatikan terlalu detail sikap dan kial tubuhnya, Namun seorang guru sangat penting untuk memahami arti penting semua sikap dan gerak tubuhnya karena sikap dan kila tubuh guru akan mempengaruhi sikap dan penerimaan siswa terhadap pengajaran dan pendidikan yang diberikan oleh seorang guru.

Sebagai contoh, apakah guru perlu memperhatikan sikap dan gerak tangannya ketika menangani siswa yang sedang bermasalah? Bagi yang tidak mau memperhatikan detail pendidikan, tentu akan berpendapat, tak perlulah memikirkan gerakan tangan guru saat menangani siswa yang bermasalah. Tetapi akan sangat berbeda kalau yang diminta pendapat adalah guru yang benar benar profesional. Mereka akan mempunyai pendapat tersendiri tentang ini.

Bagi seorang guru yang berpengalaman, mereka pasti akan menyarankan pada semua guru yang sedang menangani siswa yang bermasalah untuk mendekati siswa yang bermasalah itu dengan berjalan tenang dan meletakkan kedua tangan di belakang tubuh. Jadi guru yang mau menangani siswa yang bermasalah itu disarankan untuk mendatangi siswa yang bersangkutan dengan bersikap seolah sedang menggendong tangannya di belakang pinggangnya. Sikap ini sangat disarankan bagi seorang guru saat berjalan mendatangi siswa yang bermasalah dan selama berbicara dengan siswa tersebut. Sikap ini terasa lebih menenangkan hati siswa, karena siswa tak terlalu merasa terancam saat melihat tangan gurunya tersembunyi di belakang badannya. Selain itu yang tangan terlipat ke belakang juga bisa menjaga guru dari berbuat yang tidak tepat terhadap siswa yang bermasalah tersebut.

Kamis, 30 Maret 2023

Guru Tak Boleh Emosional Dalam Menangani Siswa Bermasalah

 


Dalam menangani pelanggaran yang dilakukan siswa, guru tak boleh kehilangan kendali diri. Guru harus selalu dalam kondisi tenang, dan bertindak secara terarah dan terukur. Hindari marah dan emosional ketika berhadapan dengan siswa yang bermasalah. Menurut Fischer (2004) guru yang marah ketika mendapati siswanya melakukan pelanggaran peraturan, sebetulnya menunjukkan bahwa guru itu tidak terlalu percaya diri dalam berurusan dengan siswa dan situasi yang ada.

Guru sebagai orang yang dianggap dewasa hendaknya selalu memberikan contoh perilaku yang baik dalam situasi yang seperti apa pun, termasuk ketika menghadapi siswanya yang sedang bermasalah. Guru yang lepas kendali dalam kemarahan ketika mendapati siswanya melakukan pelanggaran akan kesulitan membuat keputusan yang tepat, baik dan mendidik bagi siswa yang bersangkutan. Selain itu akan ada bias juga dalam memberikan konsekuensi atas pelanggaran yang dibuat siswanya tersebut.

Akibat lebih jauh yang bisa didapat guru yang saat menangani pelanggaran siswa dengan kemarahan adalah kehilangan kedekatan dengan siswa yang bersangkutan dan rasa hormat siswa terhadap gurunya itu. Padahal kedekatan dengan siswa dan rasa hormat siswa adalah modal besar bagi guru untuk sukses mendidik dan mengajar siswa siswanya.

Pendidikan Abad 21 Wajib Mendorong Siswa Untuk Melek Informasi.

  Sudah berulang kali penulis sampaikan bahwa pendidikan di abad 21 haruslah bersifat berbagi informasi, tidak lagi bersifat penyuapan inf...