Kamis, 08 Juni 2023

Apa Yang Sesungguhnya Dialami Siswa Di dalam Ruang Ruang Kelas Tradisonal Kita

 


Mari kita lihat bareng bareng apa yang sesungguhnya terjadi di ruang kelas anak anak kita, saat mereka belajar di sekolah. Datang harus pagi pagi dan harus tepat waktu. Disiplin tinggi, dituntut juga kerapian dan kesiapan menerima segala perintah. Bahkan sebagian dari mereka sudah harus baris rapi, berdiri tegak lurus tak boleh bergerak, sebelum masuk kelas. Setelah secara berurutan masuk di dalam ruang kelas, mereka juga harus duduk dibelakang meja yang sudah disusun rapi berbaris berjajar menghadap satu arah, mereka juga dituntut untuk langsung on task, siap dengan segala perintah dan instruksi lain dari bapak atau ibu guru. Dari kacamata kedisiplinan kelihatan bagus sih, siswa nampak bisa berdisplin dan tepat waktu. Namun ingat, siswa siswa kita ini mengalai peristiwa ini setiap hari dari TK sampai setidaknya kelas III SLTA. Itu waktu yang sangat lama. Belasan tahun siswa siwa ini harus melawati kekakuan dan minim gerakan di belakang mejanya. Tentu saja itu melelahkan secara fisik, terlebih kelelahan psikisnya. Dampaknya adalah siswa mengalami perkembangan emosional yang rendah.

Kemudian ketika guru sudah mulai mengajar, siswa tak boleh melakukan apa pun kecuali mendengar dan melihat gurunya, sambil sesekali menjawab “ya” ketika guru bertanya “Paham ya?” atau “bisa dimengerti?”, karena guru rata rata cenderung dengan model mengajar dengan memberi kuliah atau ceramah  alias pidato. Pelajaran berlangsung bertahun tahun dengan gaya yang sama, pidato, tulis tulis di papan, dan tunjuk tunjuk siswa. Terbatasnya gaya mengajar guru menjadikan terbatas pula apa yang bisa dilakukan siswa dan akhirnya terbatas juga kesempatan belajar bagi siswa.  Kondisi ini menekan gejolak energi siswa yang ingin belajar mengeksplorasi dunia agar mengerti segalanya. Tak urung ruang kelas akhirnya jadi penjara bagi siswa kita dan siswa kita tak mendapatkan stimulasi yang cukup pada otaknya untuk berlatih berpikir. Kalau berpikir saja mereka tak mendapatkan stimulasi yang cukup, entah kapan siswa siswa ini bisa mempunya kesempatan mengembangkan sikap dan berpikir kritisnya. Hanya Tuhan yang tahu.

Setelah melewati segala kekakuan dunia belajar yang ada, kemudian akan datang waktunya guru mengevaluasi hasil pengajarannya dengan memberi semacam test atau pertanyaan yang diberikan pada siswanya, apakah siswa siswanya mampu menjawab atau tidak sebagai indikator keberhasilan mengajar sang guru. Kalau siswa bisa menjawab pertanyaan yang ada, maka siswa beruntung dan akan mendapat pujian “bagus” dari gurunya, namun ketika gagal menjawab, maka kesalahan itu akan koreksi langsung di depan kelas dan itu akan membuat siswa yang salah menjawab jatuh secara mental, tapi siapa yang peduli? Segala kondisi ruang kelas tradisional kita ini, sebetulnya sedikit demi sedikit memberi beban pada siswa, mereka sedikit demi sedikit merasa tertekan secara mental. Ini semua akan membuat siswa percaya bahwa belajar itu sulit, dan segala upaya untuk belajar adalah membosankan.

Keyakinan bahwa belajar itu sulit dan dipadu dengan stimulasi otak untuk berpikir yang rendah akan melahirkan motivasi belajar yang rendah pada siswa. Siswa di ruang kelas bukan berpikir bagaimana agar bisa menguasai sekian banyak pengetahuan agar tambah pintar, tapi yang mereka pikir adalah KAPAN PELAJARAN INI BERAKHIR. Jam istirahat adalah sebuah pelepasan yang besar bagi tekanan emosional dan mental mereka. Jam sekolah berakhir adalah anugerah terbesar bagi mereka hari itu.

Siswa kita banyak yang tak punya gambaran seperti apa masa depan yang akan mereka raih, karena minim informasi dan pengetahuan dari pelajaran yang mereka dapatkan belasan tahun itu. Banyak dari mereka gamang ketika harus memilih jurusan saat mereka harus melanjutkan kuliah di perguruan tinggi. Ternyata banyak dari siswa kita dalam kondisi tertekan dan distressed berkepanjangan selam belajar di sekolah bersama kita. Pikiran mereka kosong dan sunyi, sesunyi ruang kelas yang kita harapkan saat kita mulai mengajar. Kita semua butuh berpikir ulang dan perbaikan.

 

Pendidikan Abad 21 Wajib Mendorong Siswa Untuk Melek Informasi.

  Sudah berulang kali penulis sampaikan bahwa pendidikan di abad 21 haruslah bersifat berbagi informasi, tidak lagi bersifat penyuapan inf...