Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meberantas kebodohan melalui peningkatan kualitas pendidikan mutlak perlu dilakukan oleh sebuah bangsa bila bangsa itu tidak ingin tersisih dri percaturan dunia. Bangsa kita, Indonesia, adalah sebuah bangsa besar dengan jumlah penduduk besar, wilayah luas dan kekayaan alam yang berlimpah, surga dunia ada di indonesia, namun begitu yang terjadi adalah bahwa bangsa indonesia sama sekali tdk masuk hitungan dalam percaturan dunia, masyarakatnya banyak yang miskin dan bahkan kena busung lapar. Ibaratnya bangsa indonesia itu bagai musang mati kelaparan di kandang ayam. Hal ini tak lebih dan tak kurang dikarenakan bobroknya tatanan politik dan ekonomi bangsa ini dan salahnya arah pendidikan yang dijalankan selama ini.
Memang benar, pemerintah terus berusaha meningkatkan mutu pendidikan dan mengembangkan kurikulum yg mencoba disesuaikan dengan perkembangan jaman, sampai sampai muncul istilah “ganti mentri ganti kurikulum”. Kita mengenal banyak kurikulum yang pernah terpakai di indonesia. dan kurikulum termutakhir adalah kurikulum 2006 yang dikenal dengan kurikulum KTSP (kurikulum Tingkat satuan Pendidikan) dan yang sering dipelesetkan menjadi “ Kurikulum Tergantung Siapa Pembuatnya”. Kurikulum terakhir ini hampir berjalan selama 8 tahun tapi naga naganya tingkat mutu pendidikan indonesia bukannya terdongkrak naik tapi malah makin jongkok, hal ini terlihat pada ketidaksiapan siswa dalam menhadpi UN yang selalu berulang. Pelaksanaannya UN selalu ricuh dan banyak kecurangan. Sangat mengenaskan bahwa pendidikan kita berakhir pada selembar bocoran jawaban soal. Belum lagi degradasi moral dan lunturnya nasionalisme di kalangan remaja yang semakin parah dan memprihatinkan. Semua ini tentu kita akan kembalikan dengan sebuah pertanyaan pada kebijakan pendidikan nasional kita, bukan?
Ketidak berhasilan pembangunan pendidikan di Indonesia sebetulnya disebabkan oleh tidak berubahnya orientasi pendidikan di negara ini. Walau kurikulum berubah seribu kali tapi orientasi pendidikan di negara ini masih sama. Pendidikan seutuhnya dipakai untuk pegembangan aspek kognitif siswa, kalau misalnya ada upaya untuk menyebut nyebut aspek lain, afektif dan psikomotorik, itu haya sekedar pemanis bibir karena memang teorinya pendidikan itu mencakup tiga aspek tersebut. Namun pada prakteknya kedua aspek yang kita sebut terakhir hampir tidak punya porsi di dalam kurikulum yang dikembangkan pemerintah. Padahal keberhasilan sesorang di masyarakat sangat tergantung pada kemampuan afektif dan psikomotorik. Sementara aspek kemampuan koqnititif itu tdk terlalu menyumbang besar untuk keberhasilan seseorang dalam kehidupannya. Keberhasilan sesorang dalam menjalani kehidupan sangat ditentukan oleh sikap, watak, pola perilaku dan ketrampilan hidup lain dari orang tersebut. Banyak disebut sebuat 85% keberhasilan seseorang ditentukan oleh ketrampilan hidup ini, sementara kecerdasan Cuma menyumbang 15% sisanya. Tapi kenapa dalam kurikulum kita yang 15% ini masih mendominasi seluruh aspek pendidikan? Kapan kita menyadari ini?
Waduh tahu tahu kok tulisan sudah banyak, gini saja dech biar sampeyan bacanya ga kebanyakan dan tidak capai, dibawah ini saya beberkan apa beberapa fakta seputar kurikulum dan pengajaran di sekolah sekolah indonesia :
- Kurikulum sepenuhnya berdasar KTSP, kurikulum terbaru yang setiap tahun harus dibuat dokumennya dalam bentuk tulis, sehingga mendorong lebih cepat pembabatan hutan untuk bikin kertas. Kata yang punya cerita satu pohon Cuma bisa jadi kurang dari 10 rim kertas, Kita bisa bayangkan kalau dalam setiap tahun satu sekolah butuh sekitar 2 pohon untuk pembuatan rencana pengajaran dan dokumen KTSP, berapa juta pohon yang kita tebang dalam setahun? Apa tidak ada kurikulum yang lebih ramah lingkungan?
- Pengajaran bersifat artifisial , guru indonesia banyak yang tidak mau berkreasi sehingga pengajaran selalu dilakukan dengan metode, pendekatan dan gaya yang sama dari hari ke hari, apa yang dilakukan di dalam kelas belum menyentuh pada upaya “mengalami langsung”. Padahal orang bilang ‘ saya mendengar saya lupa, saya menerangkan saya mengerti dan saya melakukan saya memahami”. Pendidikan belum diarahakan pada konteksnya, masih diceritakan saja (artifisial) oleh gurunya .
- Kurikulum masih diarahkan hanya untuk peningkatan aspek kognitif, keberhasilan siswa diukur dengan kemampuan menjawab soal yang jawabannya harus dihafalkan. Apakah kalau kerja nanti anak anak itu akan ditanya hapalannya? Apakah kalau si anak pingin jadi pengusaha harus tahu urutan warna pelangi? Kenapa kita lupa mengajarakan pada anak anak kita kemampuan mengenal diri sendiri? Kemampuan meredam stress, kemampuan management waktu, manajemen sumberdaya, kemampuan berkomunikasi, kemampuan berkolaborasi dst? Padahal hal hal seperti itulah yang diperlukan kelak saat mereka mulai menapak pada kehidupan yang sesungguhnya.
- kurikulum dibuat untuk membuat anak lulus dengan nilai baik dan sukses dengan UASBN/ UN. Ini akbat langsung dari kondisi no 3 diatas. Yah pendidikan kita didedikasikan sepenuhnya untuk mampu menyelesaikan ujian tulis. Setelah itu jd pengangguran sudah bukan lagi urusan penentu kebijakan pendidikan bukan?
- Metode pengajaran masih bersifat tradisional. Seperti biasa guru berceramah atau baca buku, siswanya ribut atau tidur di belakang. Malah hari gini masih ada anak disuruh mencatat/ menyalin tulisan dari buku paketnya. Inilah sebabnya dunia pendidikan kita bahkan tidak dilirik dikawasan ASEAN.
- Belum memiliki pendekatan pengajaran yang spesifik dan terprogram. Yah jangankan pendekatan pengajaran yang spesifik dan terpogram, ini bukan upaya menjelekkan pendidikan di Indonesia, tapi saya Cuma menyampaiakan fakta karena keprihatinan saya sebagi guru, untuk dokumen KTSP dan RPP saja guru guru kita masih mengandalkan COPY and PASTE dari entah siapa yang membuatnya.
- Mulok sudah memperhatikan keperluan komunikasi dimasa depan. Yang di Mulok ini saya pandang sudah ada usaha yang bagus dari banyak sekolah karena merka sudah memeprhatikan kebutuhan siswa dimasa depan, setidaknya sekarang mulok banyak yang memberi tambahan pelajaran IT dan Bahasa Asing. Perlu peningkatan saja.
- Kurikulum diarahkan memenuhi tantangan dengan sekup nasional. Maaf yang ini saya cuma membuat logika terbalik dari program RSBI. Kalau pemerintah punya program RSBI yang dibuat untuk tataran internasional, berarti sekolah yang lain dianggap ga penting dan cukuplah untuk urusan yang bersekup nasional. Dan itu artinya pemerintah juga berkata bahwa apapun yang sekupnya nasional itu jelek, karena yg bagus yang internasional. Indonesia itu jelek kalau internasioanal itu bagus. Dari sini inilah om... asal muasal hancurnya nasionalisme kita. Dari sekolah kita sudah diajarai untuk berfikir yang nasional itu buruk yg internasioanl itu baik. Terjemahanya Indonesia buruk luar negri bagus. Doktor luar negri sekali ngajar dua juta, doktor UI dan UGM cukuplah limaratus ribu. Benarkah kemampuan mereka berbeda? Kapan kita sadar?
- Dalam KBM belum memperhatikan classroom dan behaviour management, jangankan diperhatikan, manajemen tingkah laku dan menejemen ruang kelas itu binatangnya berkaki berapa saja sebagian besar guru indonesia belum paham.
- Teacher centered instruction, sudah lama pemerintah menganjurakan denga cara belajar siswa aktif (CBSA) kemudian akhir akhir ini ada istilah pengajaran engan sistem PAIKEM bahkan ada yang menambah dengan PAIKEM GEMBROT, namun apa mereka ngerti dan sadar kalau semua itu membutuhkan tata letak ruang kelas yang dirancang khusus dan fasilitas yang sesuai dan memadahi? Guru boleh saja di training sampai capai, tapi begitu masuk ke ruangan yang sama tempat dia mengajar sebelum di training ya balik lagi balik lagi, gurunya mendongeng dan muridnya tidur.
- Single media. Di jaman seperti sekarang ini dimana kita bisa mendapatkan informasi dan pengetahuan dari beraneka ragam sumber. Di kelas kelas sekolah kita kondisi tidak berubah. Sumber pengetahuan ya cukup satu saja bibir pak/ibu guru. Itupun kadang informasinya salah dan guru ngotot bahwa itu yang benar. Sedih bukan?
- Information delivery . karena sumber pengetahuan dan informasi Cuma satu yaitu pak/ibu guru maka yang terjadi di sekolah bukan murid belajar (mencari pengetahuan) tapi yang ada pentransferan pengetahuan . siswa dinggap celengan gambar bagong yang setiap hari harus siap dimasukin pengetahuan dan informasi terbatas yang dipunyai pak guru. Padahal pengetahuan yg dipunya pak guru itu bisa jadi informasi menyesatkan karena informasi itu didapat pak gurunya setengah abad yang lalu.
Bapak/ibu guru tidak seperti itu? Atau sekolah bapak/ibu tidak seperti itu? Ya syukurlah kalau begitu memang saya sedang tidak ngomongin bapak/ibu dan sekolah panjengan semua. Atau masih ada yang seperti itu? Ya dirubah dong pak! Kalau dalam merubahnya perlu bantuan bilang saja ke kami, kami siap bantu.