Di tulisan sebelumnya sudah kita bahas, alasan kenapa seorang guru bisa kehilangan rasa hormat dari siswanya yang pada akhirnya berakibat pada sulitnya sang guru mengatur dan mendisiplinkan siswa siswanya di dalam kelas. Kita juga akhirnya paham bahwa seorang guru yang terlalu banyak menggunakan candaan, lucu lucuan, dagelan, banyolan untuk menarik hati siswanya bisa berbalik menjadi petaka bagi guru itu karena candaan yang terlalu banyak ternyata mendangkalkan rasa hormat siswa pada gurunya. Terlebih kalau candaan ataupun dagelan yang dilontarkan sang guru adalah dagelan dengan konten pornografi, tidak butuh waktu semenit-dua menit, tapi saat itu juga guru akan langsung tidak dihormati oleh siswanya.
Guru bisa juga kehilangan rasa hormat dari siswanya bila guru terlalu mengandalkan superioritas dia di dalam kelas. Guru yang kurang pengalamannya, tidak terlalu percaya diri dan grogi menghadapi siswa siswanya di dalam kelas, sering kebingungan bagaimana sebaiknya bersikap di depan siswa siswanya. Guru ini akan serba salah. Guru yang rasa percaya dirinya nyaris habis, biasanya tiba tiba memilih nampak lucu untuk menutupi kelemahannya, dan kasus di tulisan sebelumnyalah yang terjadi. Guru yang masih agak tebal rasa percaya dirinya, untuk menutupi rasa grogi dan ketidaktahuannnya bagaimana harus bersikap, akan memilih sikap “jaim” , menunjukkan superioritasnya di depan para siswa.
Guru yang merasa harus menggunakan posisi superioritasnya seperti ini, biasanya bicaranya pendek pendek, ketus, sok galak dan sok berwibawa. Sikap seperti ini sejak awal ditunjukkan sudah akan membawa aura perang dan kemarahan di dalam kelas. Guru terasa menyebalkan bagi siswa dan tertantang untuk menentang guru tersebut. Jadi sikap guru yang sok galak, sok berwibawa akan memicu timbulnya pemberontakan siswa di dalam kelas. Dari sini mulailah ada satu dua siswa yang mulai susah dikendalikan oleh guru, dan yang kalau tidak segera disadari oleh guru dan mengubah sikapnya, maka seluruh kelas akan menjadi pemberontak. Kemudian ruang kelas akan menjadi kacau, di mana guru bisa dipastikan akan gagal mengajar.
Kegagalan mengajar sebagai tugas pokoknya akan membuat guru tertekan secara mental tentu saja. Sementara kegagalan dia menenangkan siswa dalam kelasnya pasti akan berdampak pada kepanikan dia. Karena sejak awal guru ini mengandalkan superioritasnya maka, bisa ditebak yang akan dia lakukan untuk menenangkan siswanya adalah dengan bentakan dan ancaman. Nah bentakan dan ancaman ini bisa jadi pedang bermata dua. Bisa jadi siswanya sedikit tenang mendengar ancaman tersebut, tapi bisa jadi saking muaknya siswa pada si guru, siswa sudah tak peduli lagi dengan ancaman guru. Justru ulah siswa makin menjadi jadi, makin liar dan makin tak bisa diatur. Hilanglah seluruh kehormatan guru. Rasa hormat siswa pada gurunya tak tersisa, dan guru bukan hanya gagal mengajar pada hari itu, tapi akan gagal sepanjang semester yang dia lalui atau bahkan akan gagal selamanya. Jadi walau benar, guru adalah pemegang otoritas kelas, guru adalah superior di dalam kelas, tapi tetap saja, guru harus hati hati dalam menggunakan superioritas dan otoritasnya di dalam kelas.
Lagi pula, walau mungkin dengan ancaman, guru bisa menenangkan siswa dan mengembalikan merek pada tugas belajarnya, tetap saja guru tidak seharusnya mengeluarkan ancaman bagi siswanya untuk mendapatkan kepatuhan. Perlu diingat kepatuhan siswa karena ancaman, itu sifatnya sementara. Di lain hari mereka akan membawa kekacauan yang lebih besar dan lebih terencana bagi gurunya. Selain itu dengarkan juga nasihat Kohn, 1994, ancaman sebagai strategi menenangkan dan membuat patuh siswa tidak akan membantu siswa membuat keputusan yang etis dan bijaksana tentang perilakunya karena keputusan yang diambil siswa karena rasa takut, bukan atas kesadaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Saya sangat berterimakasih kalau anda tinggalkan komentar disini / Would you please leave a comment or a critique for the sake of my future writing improvements?