Minggu, 20 Januari 2013

PERLUNYA PENGAJARAN KETRAMPILAN SOSIAL DISEKOLAH KITA





Akhir akhir ini banyak pendidik, ahli pendidikan maupun pejabat pemerintahan yang berbicara tentang kecakapan hidup yang harus diajarkan pada anak didik. Artinya saat ini banyak orang berkeyakinan bahwa kepandaian saja tidak cukup untuk membuat siswa sukses dalam kehidupan dibelakang hari. Salah satu ketrampilan hidup yang harus dipunya siswa sebagai syarat kesuksesan masadepan adalah ketrampilan sosial.  Apakah ketrampilan sosial itu?  Menurut  wikipedia ketrampialn sosial diartikan sebagai “ any skill  facilitating interaction and communication with others”, ketrampilan yang memudahkan berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain. Tentu saja definisi tersebut masih bisa dilanjutakan dengan menambah ‘dengan damai menyenangkan dan tanpa pertentangan maupun ketersinggungan”.
Tentu kita semua setuju bahwa kemampuan sosial ini sangat penting bagi siswa siswi kita untuk meraih kesuksesan jangka panjangnya. Karena ketrampilan sosial ini akan memastikan kemampuan siswa siswi  kita membawa diri ditengah tengah kehidupan sosialnya. ketrampilan ini tak bisa disangkal lagi adalah gabungan dari kemampuan untuk memahami diri sendiri dan mengelola emosi pribadi (Intra-personal skill) dan kemampuan untuk memahami dan merespon orang lain (inter-perosnal skill) yang dipadu dengan kemampuan komunikasi (commmunication skill).
Dalam kehidupan pengajaran tiapa hari disekolah sekolah kita, sebetulnya sudah banyak guru yang menyadari pentingnya kemampuan sosial ini. Sehingga ada begitu banyak guru yang senang sekali memindah meindahkan tempat duduk siswa, dengan tujuan agar siswa bisa menjalin hubungan dengan semua siswa bukan Cuma satu atau dua siswa dari sekian banyak siswa di dalam kelas.  
Namun sayangnya, dengan mendudukan siswa secara acak atau mendudukan mereka secara bersama-sama tidaklah  cukup untuk menjamin tumbuh kembangnya komunikasi antar siswa ataupun kerja sama tim. Banyak siswa yang  tidak tahu bagaimana cara berinteraksi secara tepat dengan teman sekelas mereka. Mereka bahkan  tidak memiliki keterampilan sosial yang cukup untuk melaksanakan tugas-tugas kelompok yang diberkan gurunya, sehingga seringkali tugas kelompok hanya dikerjakan oleh satu atau dua dari anggota kelompok dan yang lain titip nama.  
Ketidakmampuan siswa dalam masalah ketrampilan sosial ini dimungkinkan sebagai akibat dari kesalahan belajar mengajar disekolah.  Arnold Golstein, seorang ahli masalah masalah pengajaran keterampilan sosial untuk siswa dengan gangguan perilaku meyakini  ada empat alasan utama mengapa siswa tidak memiliki keterampilan sosial, seperti dijelaskan dibawah ini.
(1) Mereka tidak tahu cara untuk bertindak ataupun merespon tindakan orang lain selain pola perilaku yang mereka pelajari untuk lingkungan khusus mereka. Begitu mereka berada dilingkungan yang berbeda mereka kebingungan apa yang harus mereka lakukan.Banyak dari anak-anak kita tidak pernah belajar "perilaku yang tepat" untuk pada kondisi sosial tertentu, situasi di mana mereka harus berinteraksi berhubungan dengan orang lain yang berbeda. Mungkin mereka tidak menerima bimbingan yang tepat dalam hal ini di rumah,baik karena orang tua yang tidak peduli, atau karena sistem nilai-nilai dan lingkungan mereka berada memang tidak sama dengan yang dirumah. Mungkin saja mereka memiliki pendidikan tingkah laku , etika dan sopan satun yang baik di rumah dan lingkungannya, tetapi anak-anak kita tidak menjumpaia nilai nilai yang sama disekolah sehingga anak anak jadi gamang dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.
(2) Mereka bisa saja sebetulnya tahu bagaimana berperilaku, tetapi mereka belum biasa ataau belum punya cukup latihan untuk berlaku seperti itu, biasanya ini dikarenakan siswa siwa ini merasa inferior, berbeda  atau merasa bukan golongan dari teman temannya. Sementara mereka sebetulnya menunggu teman temannya yang menarik siswa siswi ini dalam percaturan sosial dan pergaulan, tapi sering seringnya undangan yang diharap pun tidak datang. Maka siswa siwi ynag kesulitan bergaul ini jadi makin tersisih saja. Makin lama malah akan jadi siswa yang aneh.
(3) Mereka sebutul pernah mencoba suatu cara untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman temannya, tetapi usahanya  tidak berhasil pada saat percobaan pertama kali, sehingga mereka menganggap bahwa memang mereka tidak akan bisa bergaul dengan teman temannya. Mengingat pengalaman kegagalan mereka itu, mereka akan kembali pada titik nol dan mencoba bertahan disana, sampai ada yang memasukkan dalam pergaaulan yang mereka inginkan.  Sudah jamaknya kita manusia kalau pernah mencoba melakukan sesuatu dan gagal jarang ada yang berani mencoba lagi. Begitu pula siswa siswi kita, ketika mereka gagal bergaul dengan teman temannya pada percobaan pertama mereka akan cenderung berhenti melakukannya
 (4) Adanya ketegangan dan kecemasan yang merusak kemampuan untuk melakukan perilaku yang bisa diterima dalam lingkungan sosial  dalam kehidupan nyata. Kondisi psikologis ini sering sering menjadikan siswa siswi kita salah tingkah, yang akan berujung pada tingkah laku yang wagu dan kelihatan lugu. Dalam kondisi ini akan dipandang oleh teman temannya sebagai lucu atau malah menyebalkan, sehingga siswa yang salah tingkah ini jadi tidak cukup berharga untuk “ditemani”. Jadilah hambatan siswa ini untuk mampu bergaul dan berinteraksi semakin besar.
Itulah sebabnya sekolah sebagi institusi pendidikan wajib membuat program khusus untuk menolong siswa siswinya yang kurang mampu bersosialisasi atau yang tidak memmiliki ketrampilan sosial ini.  
Umumnya, kurangnya  keterampilan sosial ini dikarenakan kurangnya kesempatan untuk belajar atau kurangnya contoh model perilaku yang sesuai (Gresham & Elliott, 1989). Kemudian apakah yang harus diajarkan guru pada muridnya yang kesulitan dalam kehidupan sosialnya ini?  Hazel, Schumaker, Sherman, dan SheldonWildgen (1981) dalam ; ASET: Sebuah program keterampilan sosial bagi remaja. Champaign, ll: Penelitian Press, mencatat delapan keterampilan sosial yang mendasar yang dapat diajarkan melalui instruksi langsung dilingkungan sekolah:
1. Kemampuan memberikan umpan balik secara positif (misalnya, berterima kasih dan memberikan pujian).
2. Kemampuan memberikan umpan balik negatif dengan santun (misalnya, memberikan kritik atau koreksi),
3. Kemampuan menerima umpan balik negatif tanpa permusuhan atau reaksi yang tidak sepantasnya,
4. Kemampuan menolak tekanan rekan untuk ikut berpartisipasi dalam perilaku nakal,
5. Kemampuan memecahkan masalah pribadi,
6. Kemampuan menegosiasikan permasalahan dan solusinya  yang dapat diterima bersama ,
7. Kemampuan mengikuti petunjuk, dan
8. Kemampuan memulai dan mempertahankan percakapan.          
Singkatnya, siswa dengan kekurangan kemampuan sosial  dan belum punya  keterampilan sosial ini tidak mungkin untuk belajar sendiri  atau belajar secara kebetulan. Intervensi dari guru dan sekolahan serta orangtua sangat diperlukan.  Mereka memelukan metode pembelajaran yang efektif meliputi demonstrasi / pemodelan dengan praktek dipandu dan umpan serta situasi yang mendorong mereka untuk belajar berkomunikasi dan bergaul dengan banyak orang.

Jumat, 18 Januari 2013

Sedikit Tentang Peraturan atau Tata tertib Sekolah.





Kalau kita mengharap keteraturan haruslah ada standard atau aturan yang dijalankan. Logika ini sudah lama berlaku dan masih berlaku sampai sekarang. Logika keteraturan memelukan aturan juga diyakini oleh sekolah sekolah kita, makanya tidak ada satu sekolahpun dimuka bumi ini yang tidak punya peratura ataupun tata tertib sekolah. Bahkan banyak sekolah yang menuliskan besar besar peraturannya didepan sekolah agar semua orang bisa membaca dan mengerti, walau tujuan yang sesungguhnya adalah agar team assesor akreditasi sekolah melihatnya. Iya nggak?
Walau membuat tata tertib sekolah adalah hal yang biasa dilakukan oleh guru dan sekoah manapun, akan tetapi sangat jarang guru atau sekolah yang berfikir apakah aturan main yang mereka gariskan itu akan bisa efektif dijalankan atau akan berakhir seperti banyak aturan yang lainnya; aturan tinggal aturan kapan dilaksanakannya kapan, itu tidak terlalu penting. Bahkan ada adagium kalau peraturan itu dibuat untuk dilanggar. Mengenaskan bukan?
Nah bapak dan ibu guru yang saya hormati, kalau bapak dan ibu ingin seluruh usaha pendidikan yang bapak dan ibu guru lakukan bermakna, tentu baapak dan ibu guru harus membuat segala sesuatu yang  dilakuan harus bermakna pula. Termasuk tata tertib yang bapak ibu buat. Kalau peraturan yang bapak dan ibu guru tetapkan tidak dilakukan secara efektif bapak daan ibu guru sudah membuka peluang untuk membuat semua yang bapak ibu lakukan disekolah kurang bermakna bagi siswa. Kalau tidak ada hal yang berarti dan bermakna bagi siswa, mereka akan meremehkan semua hal yang ada, termasuk diantaranya mereka akan meremehkan pelajaran yang ada, meremehkan gurunya dan bahkan tidak menganggap penting sekolah.  Bagaimana juga kita mengharapkan mampu mencetak manusia manusia yg berdisiplin tinggi, berkarakter baik, dan berprofil hebat, kalau tidak ada tuntunan kedisiplinan dari gurunya?
Kelemahan kita untuk secara disiplin menerapkan tata tertip atau aturan sekolah adalah karena peraturan sekolah terlalu rumit dan panjang lebar sehingga sulit untuk diingat, bahkan untuk membacanya pun ga ada yang sempat; termasuk guru gurunya. Kondisi begini akan mendorong pada pembiaran setiap pelanggaran karena gurupun akan malas mencari pasal yang dilanggar siswa. Paling mentok guru paling akan bilang ‘eitt ga boleh begitu’ sambil berlalu. Efeknya siswa merasa bahwa apa yang dilakukan masih OK maka besok pelanggarannya akan ditingkatkan kadarnya. Kekacauan yang dibiarkan dalam jangka waktu yang lama akan menjadi kebiasaan. Kebiasaan akan jd karakter. Dan karakter tidak disiplin inilah yang sekarang mendominasi watak siswa siswi kita diseluruh pelosok negri. Itu artinya tidak banyak sekolah yanh konsisten memegang teguh peraturannya.  Bolos, tidak mengerjakan PR, berani sama gurunya, tidak ada sopan santunnya, pelcehan sexsual, sex bebas dikalangan pelajar, tawuran adalah buah dari ketidakpedulian guru atas peraturan sekolah.
Nah akibat pembiaran ketidak disiplinan ini tentu tidak akan kita biarkan terus terjadi bukan? Bagaimana caranya? Ya kita mulai dari bikin aturan yang mudah dijalankan.  Dalam tulisan yang ga beraturan ini saya akan jelaskan beberapa syarat membuat peraturan sekolah yang bisa dijalankan dengan efektif.
         bisa dimengerti
membuat peraturan sekolah haruslah menggunakan kata kata yang lugas dan tidak bersayap, agar bisa dimengerti.  Dengan mudahnya aturan dipahami siswa, bukan saja siswa akan mudah menjalankan aturan tersebut, tapi juga siswa tidak akan mampu membantah kalau mereka melanggar peraturan tersebut, karena semuanya sudah jelas. Dan artinya gurupun akan dengan mudah menunjukkan kesalahan yang dilakukan siswa.
         bisa dilaksanakan
Syarat kedua peraturan adalh bahwa peraturan itu haruslah mudah dilaksanakan. Peraturan seperti “siswa harus menciptakan suasana yang kondusif untuk memperlancar kegiatan belajar mengajar” atau “Siswa dilarang mengenakan riasan yang berlebihan, tidak wajar, dan tidak sesuai dengan umurnya” adalah peraturan yang tidak jelas dan oleh karena itu akan sangat sulit dilaksanakan. Jadi buatlah peraturan yang lebih sederhana bahasanya dan bisa dilaksanakan.
          tidak melanggar kehormatan dan pribadi seseorang
Peraturan juga tidak boleh melanggar kehormatan pribadi seseorang atau golongan. Siswa siswi kita berkarakter beda dengan siswa siswi yang sekolah tahun 70-80an. Pada tahun tahun 70an mayoritas sekolah mempunyai  siswa yang homogen; dari suku yang sama, oakai bahasa yang sama, adat istiadatnya sama, kebudayaannya sama, agamanya sama, bahkan makanannya dan tingkat kelas sosialnyapun sama. Sehingga peraturan akan lebih gampang dibuat. Sekarang siswa siswi kita lebih beragam baik asal usul, kebudayaan, agama, kebiasaan, kelas sosialnya juga berlainan, oleh karena itu buatlah peraturan yang tidak menyinggung salah satu dari mereka.
         Jangan menggunakan kata “jangan” ataupun “tidak”.
Kalau saya katakan bikin peraturan jangan memakai kata “jangan” ataupun “tidak”, biasanya para guru selalu merespon dengan kalimat ‘ iya, betul karena kita harus selalu berfikir positif, positive thinking”.  Dan biasanya saya merespon balik dengan tersenyum sambil berkata, “benar sekali, kita harus selalu berfikir positif, berfikir positif akan membuat semangat kita tak pernah padam, tidak ada kata ‘putus asa”. Namun sebetulnya latar belakang dari peraturan yang tidak memakai kata “jangan” ataupun “tidak”, bukanlah masalah positive thinking.  Karena kedua hal itu berbeda dan tidak berada di kapal yang sama. Kata “jangan” ataupun “tidak” dalam peraturan itu pada galibya akan membingungkan siswa maka kita tidak boleh memakainya. Dengan berteriak “jangan berisik!” bapak dan ibu guru memang bisa mencegah siswa membuat gaduh kelas, namun siswa masih belum mengerti apa yang gurunya inginkan mereka lakukan. Coba kalau gurunya berkata ; “ semuanya duduk yang rapi dan dengarkan saya!” siswa langsung tahu apa yang harus dilakukan dan ngerti apa yang harus ditinggalkan.
         Tegas
Peraturan yang tegas adalah peraturan yang dilakukan secra efektif, artinya siapa yang melanggar akan mendapat konsekwensi dari pelanggran yang dilakukan. Oleh karena itu peraturan yang diberlakukan harus disertai konsekwensinya.
         Adil
Peraturan akan terasa adil kalau dilakukan tanpa pandang bulu, siapapun, kapanpun dimanapun peraturan dilakukan maka konsekwensi itu harus dijalankan. Padang bulu juga berarti bulunya pak guru dan bu guru, artinya pelanggran itu diketahui guru yang mana saja maka konsekwensi itu akan tetap berlaku. Sebab kalau hanya satu dua guru saja yang menjalankan peraturan dengan benar maka siswa akan membuat penilaian tersendiri pada masing masing guru. Dan ini akan tidak bagus bagi pengembangan disipilin, watak, dan tabiat siswa. Selain peraturan harus dipatuhi oleh siswa seluruh komponen sekolah juga harus seia sekata menegaka aturan tersebut.
         Konsisten
Konsisten itu bermakna konstan, tetap atau sama. Peraturan yang diberlakukan disekolah haruslah selalu konsisten, semua orang diperlakukan sama. Jangan sampai hari ini si A tidak mengerjakan PR, dia diminta mengerjakan Prnya diruang guru saat istirahat sehingga dia tidak sempat istirahat dan makan siang, besoknya si B tidak mengumpulkan PR cum diomel omelin saja atu bahkan dibiarkan saja. Ketidak konsistenan ini akan mebuat siswa tidak akan menghormati peraturan, guru dan sekolahnya. Kalau sudah begitu harapan untuk mendidik siswa kita  jadi pribadi yang matang dewasa tidak akan pernah terwujud. Dan kita akan kembali mendapati siswa kita hamil diluar nikah, atau tawuran dijalan.

Sebagai tambahan pemahaman, penulis sarankan untuk mengajak siswa membuat peraturannya sendiri dan menetukan konsekwensinya. Dengan melibatkan siswa dalam membuat aturan kita telah mengajarkan rasa tanggungjawab, kepercayaan pada diri sendiri, dan sekaligus mereka merasa dipentingkan. Begitu peraturan dan konsekwensinya jadi, siswa akan lebih merasa wajib patuh karena peraturan itu mereka yang membuat sendiri. Untuk konsekwensinya guru harus hati hati dalam mengarahkan siswa saat membuatnya. Jangan sampai konsekwensi berubah jadi hukuman yang merendahkan derajat siswanya. Untuk hal ini mungkin bisa dibaca diartikel saya yang lain, Hukuman, konsekwensi, dan siswa nakal dalam manajemen tingkah laku (behaviour management). Selamat membuat peraturan ataupun tata tertib sekolah. Semoga sukses...



Pendidikan Abad 21 Wajib Mendorong Siswa Untuk Melek Informasi.

  Sudah berulang kali penulis sampaikan bahwa pendidikan di abad 21 haruslah bersifat berbagi informasi, tidak lagi bersifat penyuapan inf...