Pernahkan sidaang pembaca merasakan
begitu tersiksanya batin berada diruang kelas, ingin rasanya sekolah segera
berakhir dan tidak lagi dengar suara pak atau bu guru? Sehingga saat bel sekolah
berakhir berdentang, terasa lega rasanya. Cuma sayang kita sadar besok harus
balik lagi ke sekolah dengan situasi yang sama lagi. Capek dech!!!! Puluhan juta
siswa dan bekas siswa pernah mengalami hal tersebut, dan anda salah satunya
mungkin.
Kenapa hal seperti itu bisa terus terjadi?
Jawanya adalah hal ini terkait dengan kurikulum dan cara ngajar guru yg kurang
tepat. Kurikulum yang bermain pada kemampuan berfikir kelas rendah,menurut
taksonomi bloom, yang menekankan pada pemahaman dan kemampuan menghafal telah
menjadikan sekolah terasa seperti penjara yang menghancurkan semangat hidup dan
harga diri siswa selama ratusan tahun. Seperti yang kita pahami kemampuan
menghafal manusia begitu terbatas, sehingga sudah bisa dipastikan tidak akan
banyak siswa yang akan berhasil ‘pintar” disekolah. Siswa berprestasi adalah
sesuatu yang langka, padahal seharusnya setiap siswa punya hak yang sama untuk
berprestasi. Dan sekolah punya kewajiban untuk membuat semua siswa berprestasi. Namun
seperti yang diterangkan diatas. Sekolah jarang sekali menghasilkan siswa
berprestasi. Artinya misi sekolah gagal total.
Kita mungkin tidak terlalu peduli
apa yg sudah dihasilkan oleh sekolah sekolah kita. Sehingga murid yang tidak
berprestasi yang jumlahnya hampir sama dengan seluruh murid yang ada, dianggap
biasa saja. Padahaal itu bukan hal yang biasa saja. Itu kegagalan dan itu
adalah bencana nasional. Ketidak berhasilan siswa untuk berprestasi akan
berbuntut pada rendahnya mutu SDM negara ini. Rendahnya mutu SDM akan berdampak
pada kemajuan negara. Kemajuan negara akan berpengaruh pada kemakmuran dan
harga diri serta kehormatan bangsa. Tapi anehnya kok tidak banyak orang yang
peduli dengan kegagalan pendidikan nasional kita ini yah? Kacau dech...ya itulah
kenapa kita yang kaya sumberdaya alam merdeka sudah lebih 65 tahun masih jadi
negara yg dibilang sebagai “such a random country” oleh seorang penyanyi muda
yang otaknya juga ga begitu encer. Akankah kita mau mulai peduli?
Ya uwis lah, kita kembali saja ke
dunia pendidikan. Sekolah sekolah kita seperti yang saya tulis di atas dalam
proses belajar mengajarnya masih dititik beratkan pada ketrampilan berfikir
rendahan. Proses berfikir rendahan yg berisi usaha untuk menghafal dan ngarti
ternyata gagal membuat siswa “pintar” apalagi berprestasi (sorry kok jadi
diulang ini ngomongnya?). Sementara ketidakberhasilan untuk ‘pintar’ bagi
siswa disekolah akan menimbulkan rasa kurang percaya diri, dan rasa tidak mampu pada diri siswa, dan ini akan
diperparah kalau sang guru sering memposisikan siswa sebagai siswa yang bodoh
dan yang pintar. Bagi siswa yang pintar tentu akan tumbuh kebanggaan pada diri
sendiri. Tapi bagaiamana siswa yang mendapat jatah posisi dibodoh bodohkan
sepanjang masa oleh semua gurunya? Siswa yang terposisi seperti ini, akan malu
pada saat itu dan habis harga dirinya saat sang guru menunjuknya sebagai contoh
siswa yang bodoh. Dalam jangka panjang, siswa ini akan merasa bahwa jadi
pecundang adalah nasibnya, sikap apatis dan sebodo amat akan menjadi ciri
kepribadiannya. Menjadi siswa yang baik atau siwa yang bengal akan terasa sama
saja bagi mereka, karena sejarah mereka sudah mati disekolah itu. Masa depan sudah
tidak nampak di mata mereka. Agar merasa juga punya kelebihan dibanding teman
temannya, mereka akan cenderung memposisikan sebagai siswa nakal. Dengan menjadi
nakal, siswa akan merasakan dua hal; satu, dia akan punya alasan kegagalan belajarnya,
karena mereka bisa bilang aku gagal sekolah karena saya badung. Yang kedua,
mereka walau merasa kalah dalam bidang akademik, tapi mereka akan bangga karena
ternyata mereka lebih bernyali dihadapan guru dan sekolah sebagai institusi
belajar, dan mereka pun akan panen perhatian. siswa badung itu semakin direndahkan dengan ditunjukan kegagalannya di sekolah atau di kerasi karena sikap menyimpang mereka, mereka bukan sadar dan memperbaiki diri, tapi malah akan makin tak bisa dikendalikan. Hal ini terjadi karena mereka telah terluka harga
dirinya.
Oleh karena itu sudah selayaknya
sekolah punya pendekatan pendidikan yang tidak melukai harga diri siswa. Terlukanya
harga diri siswa akan membaut sekoalh
seperti neraka bagi siswa. Kalau siswa sudah pada posisi memandang sekolah
seperti neraka, apalagi yang bisa siswa harapkan dari sekolah, dan apa yang
bisa diharapkan oleh sekolah dari siswa tersebut? Oleh karena itu penataan
pendekatan dan penentuan metodologi pengajarn di sekolah haruslh menjadi
prioritas yang besar yang harus diselesaikan sekolah dan dijadikan kebijakan
secara menyeluruh sebelum prose belajar mengajar terjadi. Hal ini perlu
dilakuakn agar semua siswa yang ada adalah siswaa yang berhasil. Siswa yang
berprestasi.
Ada baiknya sekolah mulai memikirkn
untuk tidak hanya mengajarkan berfikir tingkat rendah pada siswanya, karena
terlalu rendahnya target berfikir siswa teryata malah membawa bencana baik
padaa siswanya maupun pada masyarakat bangsa dan negara. Mulai sekarng kita
harus menyadari bahwa kegagalan
menghafal yg ditandai nilai buruk dalam ujian adalah palu godam yang menghancurkan
rasa ingin tahu siswa, merasa bodoh dan dengan iklas menerima kondisi bodoh itu,
dan malah memposisikan pada ujung yang lain sebagi siswa badung. Tentang masa
depan mereka ga pikirkan lagi. Mereka pikir masa depan hanya milik orang
pintar, dan kebetulan orang pintar itu bukan mereka. Maraknya tawuran pelajar
adalah contoh konkrit dari siswa yg sdh tidk berfikir ttg masadepan, karena
mereka selalu merasa bodoh di sekolah yang artinya tidak punya masa depan. Jadi
sepertinya sekolah kita hanya menghasilkan banyak lulusan yang berhasil
dihancurkan semangat dan mentalitasnya, ketimbang siswa yg telah berhasil
dididik dgn benar.
Kalau boleh berpandepat hal ini
sumber pokok masalahnya adalah pendekatan pembelajarn yang textual dengan
ngedepankan cara berfikir rendahan yang mengacu pada kemampuan mengerti dan
hafal thok. Dan ini dilegitimasi dengan
bentuk evaluasi yang sangat beraroma hafalan. Padahal adaa bentuk
evaluasi yang lebih baik yang disebut evaluasi autentik yang tidak akan membuat
siswa kita terpecah jd yang pinter dan yang bodoh, namun kok kesadaran
pendidikan kita belum kesana. Untuk kurikulum yang baru di tahun 2013 ini saya
sangat berharap, pak mentri membuat kebijakan kurikulum yang tidak
memperpanjang situasi yang saya gambarkan ini.
Ada satu lagi fenomena yang terjadi, yang ternyata cukup berpengaruh terhadap minat dan hasil belajar, dimana siswa dalam 1 kelas menjadikan urutan kelasnya sebagai alasan kewajaran rendahnya hasil belajar. mungkin perlu sy perjelas sedikit. kelas itu merupakan kelas F (kelas terakhir) mereka menganggap wajar krn mereka merupakan kelas akhir/hasil saringan. padahal dalam kenyataanya, tidak ada penyaringan sama sekali untk pengelompokan itu. smuanya diambil secara acak.
BalasHapusberbagai cara sudah dilakukan untk menepis bhwa kelas terakhir merupakan kelas hasil penyaringan.
kejadian ini selalu terjadi setiap angkatan.
sudah banyak yang dilakukan untuk memacu minat belajar ini, tetapi belum juga menunjukkan perubahan yang berarti.
kira-kira dari rekan2 ada yang pernah mengalami hal serupa, mohon solusinya.
Oya, Sebelumnya terimakasih kami ucapkan atas undangannya pada kolom kementar kami di
http://bem-stkiphamzanwadiselong.blogspot.com/2013/02/pentingnya-pendidikan.html
perang melawan persepsi memang tidak semudah memenangkan perdebatan. tapi ada baiknya di coba memasang beberapa siswa yang berprestasi di kelas yang di maksud, agar siswa melihat bahwa kelas f itu bukan kelas inferior. mereka kan yakin apa yang disampaikan guru kalau mereka bukan anak buangan kalau mereka melihat siswaa siwa unggulan sekolahpun ada disana. kata orang inggris 'seeing is believing", kata orang arab "ainul yaqin". tapi saya katakan harus beberapa siswa, karena kalau cuma satu malah siswa yng berprestasi ini akan merasa dibodohkan oleh sekolah. trima kasih kunjungannya.
BalasHapus