Judul tulisan saya ini mungkin sedikit terasa
provokatif, saya merasa bahwa sudah saatnya gagasan ini saya lempar untuk saya
sharing-kan pada siding pembaca semuanya. Di muka bumi ini sepertinya tak ada
satu orangtuapun yang tidak ingin melihat anaknya sukses. Terkait dengan
pendidikan tentu tak ada satu orangtuapun yang menginginkan anaknya gagal dalam
belajar untuk memperoleh pendidikan yang baik. Mereka rela banting tulang
ibarat kaki dipakai kepala dan kepala dipakai kaki agar mampu membiayai sekolah
anak anaknya.
Begitu juga guru, sebagai orang tua kedua, tak
satupun guru dimuka bumi ini yang menginginkan siswa siswinya gagal belajar, baik
belajar ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang berguna bagi masa depan siswa
siswa tersebut maupun belajar sopan santun, etika dan tingkah laku yang baik
sehingga siswa siswa itu berhasil jadi manusia yang matang dan Nampak beradap. Dari paparan saya ini sebetulnya tak
terbantahkan lagi bahwa kedua belah pihak orangtua siswa ini (baik orangtua
asli yang dirumah, maupn orangtua disekolah, guru) mempunyai tujuan mulia yang
sama, menjadikan anak anak mereka manusia yang terdidik dan terpelajar. Secara teoritis dua orang atau dua kelompok
orang yang mempunyai tujuan yang sama seharusnya dengan gampang dipersatukan
untuk bahu membahu bekerjasama menggapai tujuan bersama.
Namun anehnya hal itu tidak berlaku di dunia
pendidikan. Walau orangtua dan guru mempunya visi, misi dan tujuan yang sama
terhadap anak anak mereka. Dua kelompok orangtua siswa ini sulit sekali
dipersatukan. Di seluruh dunia, terlebih lebih di Indonesia, sekolah selalu
punyaa keluhan dan kesulitan mengumpulkan orangtua untuk memebicarakan soal
pendidikan anak anak mereka. Orangtua sebagian besar akan menghindari dan
menolak dating kalau sekolah mengundang mereka dalam rapat orangtua siswa, rapat
undangan pembentukan komite, seminar pendidikan dan ahkan banyak orangtua yang
menolak atau tidak mau datng untuk ambil raport/ laporan hasil belajar anaknya
di sekolah. Orangtua jaman sekarang akan ke sekolah hanya kalau anaknya laporan
kalau mereka ‘dizolimi” atau tidak mendapat perlakuan yang baik dari teman,
guru, atau karyawan atau civitas akademika lain disekolah. Orangtua akan enteng
melangkahkan kaki ke sekolah hanya kalau ingin marah, ngomelin guru atau kepala
sekolah. Seperti yang saya tulis diatas,
kalau ada urusan penting tentang pendidikan, rapat, seminar, konferensi dengan
siswa, pameran karya siswa, assembly dan yang lainnya, mereka enggan untuk
pergi ke sekolah.
Tentu tidak semua guru atau sekolah menyerah
akan kondisi seperti ini. Buku harian
siswa atau ada yang menyebut buku jurnal siswa adalah contoh kreatifitas
sekolah untuk melibatkan orangtua dalam pendidikan. Buku macam ini muncul
tentunya dikarenakan sulitnya engundang orangtua ke sekolah. Ada juga sekolah
yang bermodal cukup sampai mebuat newsletter, atau majalah sekolah tujuannya
sama untuk menyampaikan pesan kemajuan pendidikan dan melibatkan orang tua
dalam upaya pendidikan anak anak mereka. Namun saying disayang kedua benda
hasil kreatifitas sekolah itupun jangankn dibaca disentuh oleh orangtua juga
tidak. Bahkan surat undangn rapat yang dititip ke siswa banyak yang tidak
diperhatikan oleh orangtua atau wali siswa. Tentu hal ini tidak sesuai dengan harapan
mereka bahwa anaknya harus sukses dibangku sekolah. Inilah anomaly pendidikan
kita. Aneh bukan?
Banyak factor yang menyebabkan orangtua tidak
terlalu hirau akan ajakan sekolah memikirkan pendidikan anaknya ini; factor factor
seperti latar belaakang pendidikan orangtua, kesibukan oratua dengan
pekerjaaanya, anggapan bahwa orangtua itu cukup mengeluarkan uang dan
pendidikan adalh urusan sekolah, kemampuan sekolah mengkomunikasikan tujuan
pendidikan sekolah sampai ketakutan orangtua ditagih uang SPP yang belum
dibayarkan. Apapun alasan ketidakpedulian orangtua akan undangan sekolah untuk
membicarakan ttg pendidikan anaknya ataupun
menunjukkan hasil belajar anak dan siswa mereka, tentu tidak boleh dibiarkan
berlarut larut karena hal ini akan memperlemah strategi pendidikan yang digelar
sekolah, memperlebar kesenjangan persepsi orangtua dan sekolah akan tujuan dan
keberhasilan pendidikan bagi anak anak mereka, menjadikan sekolah tumpuan kesalahan
dan kegagalan pendidikan, menjadikan guru dan kepala sekolah tempat menumpahkan
amarah orangtua yang anak anaknya gagal terdidik dengan baik, dan ujung
akhirnya semua itu akan memperlemah daya sekolah menggapai tujuan luhur
pendidikan bagi semua siswanya.
Sekilas terpikir oleh penulis ternyata kita
masih perlu mendidik orangtua siswa. Menambah wawasan orangtua akan arti penting,
proses serta arti penting peran orangtua
dalam pendidikan sangat perlu dilakukan agar tumbuh kesadaran dan makin besarnya peran orangtua dalam proses
pendidikan. Kalau kesadaran dan peran orangtua dalam pendidikan bisa bertumbuh
dan berkembang, maka bisa diharapkan pendidikan bagi putra putrid bangsa ini
bisa makin sempurna karena siswa benar benar bisa mengalami belajar di semua
lini pendidikan; seperti yang kita yakini bahwa pembelajaran itu terjadi di
tiga tempat; di sekolah, di rumah dan di masyarakat. Proses belajar siswa di
ketiga tempat ini benar benar bisa efektif terlaksana kalau kesadaran
masyarakat (orangtua siswa) benar benar telah terbagun sempurna.
Kementrian pendidikan yang memegang 20%
anggaran Negara untuk pendidikan, mungkin satu satunya institusi yang mampu
merancang dan melaksanakan pendidikan bagi orangtua ini. Semoga berguna.
ya ya ya, memang hal ini kurang mendapat perhatian. padahal murid2 itu belajar dari lingkungan, orang tua, dan masyarakat juga, kalo lingkungan dan orang tua mereka tidak paham dg dunia pendidikan maka murid2 akan sulit mencari ikon pendidikan yg layak mereka turuti. semoga ini menjadi pencerahan. salam. ditunggu kunjungan dan komentar baliknya di blog sya
BalasHapusterimakasih atas kunjungannya dan terimakasih undangannya untuk berbagi, sayamg alamat blognya tidak ditinggalkan disini
BalasHapus