Berbicara tentang pendidikan itu sangat tidak mudah. Untuk bisa mendapatkan pendidikan yang memadai bagi semua orang, banyak aspek yang harus dipikirkan seperti halnya siapa yang harus didik, siapa yang harus mendidik, apa isi pendidikannya, di mana harus dilakukan pendidikan, bagaimana cara mendidik yang benar, serta aspek aspek pendidikan lain yang terkait. Pengalaman pun menunjukkan, bahwa kita tidak boleh asal mengajar, siswa pun tidak seharusnya asal belajar. Pendidikan yang baik perlu formulasi yang tepat, perlu pemikiran yang mendalam dengan perencanaan yang matang. Kalau tidak, pendidikan yang kita lakukan hanya akan ketemu jalan buntu yang membawa kita pada situasi yang blunder.
Pada tulisan kali ini pun, penulis tak akan bisa mengulas semua aspek pendidikan yang terkait tadi. Mungkin kali ini, kita hanya bisa diskusikan satu aspek saja dari pendidikan kita. Seperti yang kita semua ketahui, ciri orang yang terpelajar adalah pintar dan semua orang pasti sepakat dalam hal ini. Orang pintar selalu dimaksudkan sebagai orang yang banyak pengetahuannya, orang yang tahu banyak hal alias orang yang segala tahu. Semakin banyak pengetahuan seseorang akan berbagai macam hal, semakin pintarlah mereka di mata orang lain. Itulah kenapa semenjak masuk TK, anak anak kita sudah dijejalai berbagai macam pengetahuan, dari matematika sampai berbagai macam bahasa. Anak TK sudah dituntut harus bisa baca. Kalau anak lulus TK belum bisa baca, maka TK itu dianggap tidak berkualitas. Sekolah sekolah juga berlomba menjejalkan banyak program pendidikan, banyak macam pelajaran yang kebetulan juga didukung program pendidikan pemerintah yang mengharuskan anak didik belajar sangat banyak jenis pelajaran yang memerlukan alokasi waktu 8 jam pelajaran sehari dan 5-6 hari dalam seminggu. Semua beban belajar siswa itu sepertinya kurang berat, sekolah pun masih berlomba lomba meyakinkan orang tua kalau anak anak yang sekolah di sana akan mampu berbicara dengan 2 bahasa atau 3 bahasa asing.
Kepercayaan bahwa makin banyak pengetahuan akan makin pintar dan akan makin berkualitaslah kita, sejauh ini benar benar telah mengooptasi pikiran waras kita semua, sampai pendidikan malah menjadi beban bagi peserta didik. Bukan hanya beban mental dan pikiran, tapi juga menjadi beban siswa secara fisik. Masih terbayang ketika anak anak saya yang masih duduk di bangku SD harus membungkukkan badannya ke depan karena beratnya beban tas sekolah yang harus digendong yang berisi buku buku yang harus dibawa ke sekolah setiap harinya. Kemudian, hanya dengan melihat jumlah buku yang setiap hari harus dibawa, kita seharusnya mafhum betapa banyaknya hal yang harus dipelajari dan dimengerti anak anak kita yang masih belia itu. Namun demi memiliki anak yang pintar dengan banyak pengetahuan, seakan kita tak mau peduli dengan beban fisik dan mental psikologis anak anak kita itu. Anak anak justru malah kita tekan agar terus berusaha menguasai semua pelajaran itu. Mereka disekolah ditekan untuk memahami semua hal dengan ancaman akan tertinggal dari teman temannya dan tidak naik kelas, dan di rumah pun tekanan itu dilakukan juga oleh orang tua yang mengharuskan anak pintar dan jangan membuat malu keluarga. Dari tekanan yang berat inilah asal usul anak yang tertekan, putus asa dan atau badung yang kemudian tidak disiplin membangkang dan anti sosial. Tentu saja yang mengalami hal ini kebanyakan adalah anak anak yang kurang beruntung punya nalar, pikiran dan IQ yang kuat. Anak anak dengan IQ tinggi dan otak yang cerdas tidaklah terlalu mendapatkan derita ini.
Apakah itu artinya anak anak jenius dan anak anak dengan IQ tinggi baik baik saja dalam hal ini? Belum tentu juga. Terlalau banyaknya pelajaran, terlalu banyaknya pengetahuan yang harus dipelajari dan mulai matematika, fisika, biologi kimia, sosiologi, antropologi, budaya sampai berbagai macam bahasa yang harus dipelajari, membuat anak anak yang cerdas ini juga sibuk dengan pelajaran pelajaran tersebut. Bahkan mereka sampai lupa belajar ketrampilan hidup dan ketrampilan sosial yang justru nanti mereka perlukan ketika harus hidup mandiri terpisah dari orang tuanya. Apakah produk pendidikan yang seperti ini juga yang kita harapkan? Tentu saja bukan.
Sekali lagi, ternyata memformulasikan pendidikan itu tidak mudah. Semoga ada yang benar benar memikirkan akan hal ini sehingga nanti akan didapat formula pendidikan yang tepat dan bangsa ini bisa cepat maju dengan SDM kualitas unggul yang mendapatkan pendidikan yang tepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Saya sangat berterimakasih kalau anda tinggalkan komentar disini / Would you please leave a comment or a critique for the sake of my future writing improvements?