Sudah berpuluh puluh tahun bangsa ini
menyelenggarakan pendidikan nasional dan berkali kali juga mengganti kurikulum
nasional sampai keluar jargon ganti mentri ganti kurikulum. Berita terakhir
tentang pendidikan nasional ini adalah tentang akan keluarnya kurikulum baru
tahun 2013 yang terkesan dipaksakan dan kurang matang. Bahakan banyak yang
apatis menanggapi akan munculnya kurikulum teranyar ini. Mereka mengatakan
mentri tinggal menjabat setahun kok keluarin kurikulum baru, paling nanti ganti
mentri kurikulumnya tidak dipakai lagi. Mentri yang baru akan ciptakan
kurikulum baru lagi sebagai penanda kehebatan mereka. Pelajar kita lah yang
jadi korban kurikulum akibat angkuhnya birokrat Negara.
Dari sekian banyak kurikulum yang pernah
dijajal di Negara ini selalu saja berkutat pada apa yang akan diajarkan dan apa
yang tidak perlu diajarkan. Pergantian kurikulum hanya identik dengan perubahan
mata pelajaran atau isi dari matapelajaran yang diajarkan. Sementara persoalan
pendidikan di Negara ini jauh terletak di tepi yang yang berbeda. Tanggal 6
april minggu lalu dalam sebuah sesi tanya jawab sebuah seminar tentang
“leaderpreneurship”, seorang ibu bertanya pada saya, apakah program
leaderpreneurship itu adalah pelajaran tersendiri. Yah, ibu ini juga sudah terasuki
bahwa program pendidikan itu pasti adaalah sebuah mata pelajaran. “Mata
pelajaran ataupun apa yang diajarkan itu bukan focus kami di program
leaderpreneurship”, jawab saya. “Dalam program ini penekanannya bukan pada apa
yang akan kita ajarkan tapi pada bagaimana kita mengajarkannya, isi pelajaran
kita serahkan pada yang berwenang, yaitu kementrian pendidikan, namun bagaimana
cara mengajarkannya pada siswa, muatan karakter serta ketrampilan hidup apa
yang akan kita tanamkan pada proses pembelajaranlah fokus rekayasa dalam
program ini” lanjut saya.
Sidang pembaca yang terhormat, seperti yang
kita ketahui sekian kali ganti kurikulum, sekolah sekolah kita hanya berganti
matapelajaran yang diajarkan. Cara mengajar dan pendekatan pembelajaran yang
dilakukan guru dalam kelas sama sekali tidak berubah. Betul pemerintah telah
mendengungkan perubahan dalam methodology pengajaraan semacam CBSA ditahun
80an, kemudian pada tahun 2000an muncul ajakan untuk mengajar dengan cara
PAIKEM bahkan ada yang melanjutkan dengan PAIKEM GEMBROT, tapi semua itu tak
lebih dari teori saja. Prakteknya masih jauh panggang dari api, tak satupun
guru tradisional tahu ataupun diajari bagaimanaa menghidupkan CBSA ataupun
PAIKEM diruang kelas. Pada tahun 2012 pemerintah juga keluarkan jurus baru
pendidikannya dengan mengajukan 18 KARAKTER yang harus diajarkan pada anak
didik. Tumbuhnya kesadaran perlunya character building ini ternyata juga
berhenti pada dirumuskannya 18 karakter itu, karena ternyata juga belum ada
juklak bagaimana menginternalisasi karakter karakter itu pada pola pikir atau
mind set siswa. Semua masih berhenti pada retorika.
Tulisan ini bukan bermaksud untuk menjelekkan
pihak pihak tertentu ataupun unjuk kebolehan sok pintar. Tulisan ini adalah
wujud keprihatinan pada makin terpuruknya dunia pendidikan di tanah air. Jaman
dahulu lulusan S1 itu adalah graduate
kita, namun sekarang lulusan S1 dimata internasional masih dipandang sebagai undergraduate. Sampai akhir tahun 80an,
masih banyak mahasiswa luar negri terutama dari singapura, Malaysia sekolah ke
Negara kita, sekarang kita yang kuliah ke sana. Keterpurukan pendidikan
ternyata bukan berhenti pada downgrade-nya mutu pendidikan Indonesia, tapi yang
menyedihkan adalah dampak psikososialnya yang mendorong munculnya masalah masalah
social di negeri kita ini. Meningkatnya
kriminalitas, pengangguran, penyalahgunaan obat terlarang, kecandual alcohol
dan sederet permasalahan lain maaf maaf kata adalah bukti kegagalan pendidikan
kita. Hal ini terjadi karena perubahan kebijakan pendidikan selalu hanya pada
perubahan mata pelajaran dan tidak pernah menyentuh aspek lain dari pendidikan
yaitu aspek afektif yang berupa kebijakan menyeluruh tentang upaya pembentukan
karakter dan pemberian ketrampilan hidup yang paripurna sehingga anak didik bisa
menjadi anak yang life-ready seperti kata iklan susu.
Seperti yang saya singgung diatas, perubahan
kurikulum selalu saja cuma jatuh pada merubah mata pelajaran, belum pernah ada
itikat yang dilakukan untuk merombak seluruh tatanan pendidikan untuk
disesuaikan dengan kebutuhan jaman. Artinya kurikulum boleh baru tapi
pendidikan tradisionallah yang akan tetap didapat anak didik. Sementara ppola
pendidikan tradisonal inilah yang selama ini jadi biang kerok gagalnya
pendidikan nasional.
Yang saya maksud sebagai pendidikan tradisional
adalah metode pengajaran yang dicirikan dengan hal hal berikut:
1.
Ruang
kelas standard berdret deret ke belakang
2.
Pola
pengajaran ceramah
3.
Siswa
wajib duduk manis dibangku dan mendengarkan guru
4.
Penekanan
pada disiplin sangat besar
5.
Gaya
belajar yang dipakai auditori
6.
Aktifitas
siswa terbatas
7.
Pola
pengajaran berputar dari nulis, pidato, tunjuk jari/angkat tangan
8.
Aktifitas
seragam
9.
Aktifitas
siswa berdasarkan instruksi instruksi guru
10.
Ada
penekanan pada siswa untuk menciptakan kelas yang sunyi.
11. Pengajaran
bersifat berurutan, logis, analitis dan matematis.
12.
Bermain
pada kemampuan berfikir tingkat rendah (hafal, mengerti, menganalisa paling
tinggi)
13.
Stimulasi
otak rendah karena penekanan pada hafalan
14.
Evaluasi
berdasar pada kemampuan menghafal terutama, dan sedikit pada pengertian.
15.
Evaluasi
biasa berbentuk pilihan ganda, pilihan benar salah, soal isianpun hanya mampu
dikerjakan kalau siswa hafal materi pelajaran.
16.
Siswa
yang hebat adalah siswa yang mendapat skor tinggi dalam test. Itu artinya siswa
yang hebat adalah siswa yang punya kapasitas hafalan tinggi.
17.
Dan
oleh karena itu artinya pendidikan didasarkan pada pengembangan otak kiri.
18.
Siswa
diberi ranking berdasarkan hasil test.
Gaya pengajaran dengan cirri cirri seperti
di atas akan berdampak pada kebosanan siswa karena apa yang dialami siswa
selama belasan tahun akan terasa monotone.
Rasa bosan yang dirasakan dalam janga yang panjang akan berakibat pada
rendahnya motivasi siswa untuk belajar. Ditambah dengan ketidakmampuan sebagian
siswa untuk menghafal akan berakibat pada kegagalan mayoritas siswa dalam
memenuhi target evaluasi belajar. Kegagalan belajar akan menimbulkan rasa
rendah diri dan hilangnya rasa percaya diri. Akumulasi dari semua itu akan
menciptakan ketegangan siswa dalam belajar. Prestasi rendaha dan stress siswa
ini kalau masih harus ditambah cap bodoh yang dilontarkan guru, kepala sekolah,
teman dan orangtua di rumah, maka siswa yang bersangkutan akan merasakan rasa
malu yang besar yang akan disusul oleh sikap apatis dan hancurnya
mentalitasnya. Mereka akan merasakan sekolah bagaikan neraka, bel akhir sekolah
adalah nada yang paling indah yang mereka aharap untuk segera mereka dengar. Saya
yakin sidang pembaca pernah merasakan apa yang saya lukiskan ini.
Sayangnya hal semacam ini tidak
pernah jadi perhatian serius pemangku kepentingan dan seluruh jajaran birokrasi
pendidikan kita. Mereka asyik mengkutak kutik kurikulum, mengganti jenis
matapelajaran, menambah atau mengurakan isinya dan sebodo amat dengan proses
pendidikan yang akan dilakukan di sekolah.
Sementara di ruang ruang kelas, ada
jutaan siswa yang sedang dalam proses dihancurkan masa depannya secara
sistematis. Bagaimana tidak dihancurkan, kalau proses pendidikan yang jelas
jelas hanya menghasilkan rasa tertekan dan sikap apatis pada diri siswa terus
dipertahankan? Prose pendidikan yang sangat buruk ini selain akan menghasilakn
prestasi yag rendah juga akan menghasilkan penghargaan diri para siswa juga
rendah seiring dengan sering gagalnya siswa dalam mengerjakan test sekolah. Kesulitan
belajar yang saya sampaikan ini sebuah fakta yang nyata. Masih bias dilihat
disemua sekolah di negri ini.
Model pendidikan semacam ini sudah
jelas tidak memebri ruaang pada para siswa untuk mengembangkan diri, bertumbuh
dan berkembang. Mayoritas siswa tak akan mampu mengembangkan ketrampilan hidup
dan karakter yang diperlukan untuk masadepannya. Mereka tak terbekali untuk
menghadapi masadepan mereka sendiri yang masih gelap gulita didepan sana yang
penuh dgn onak dan duri serta perubahan yang tak bias diprediksikan.
Bagi siswa yang pasif, mereka akan
menyerah pada nasib dan memiliki kecenderungan untuk putus sekolah, tenggelam
dalam kepedihan, menyesali diri, hilang percaya diri, tenggelam dalam
penyalahgunaan obat terlarang, mabuk mabukan, teller untuk melupakan kepedihan
hati dan kegagalannya dan berujung jadi pengangguran atau bunuh diri. Bagi siswa
yang punya tenaga berlebih, yang ekstrovert , siswa yang berwatak keras, mereka
akan cenderung membuat ulah sebagai manifestasi jiwa pemberontak yang meletup
letup dalam dadanya. Merekalah yang pada akhirnya akan membuat onar, berani
menentang institusi sekolah, melakukan bullying, terjerumus pada perkelahian
masal, mabuk, kecanduan alcohol, penggunaan zat adiktif untuk menambah rasa
jantan dan keberanian, lorong yang mereka tempuh bias berujung pada tindakan criminal
dan jadi sampah mayarakat.
Sepertinya hal hal seperti ini bias kita
saksikan sendiri di sekitar kita. Jelas sekali bagi kita munculnya segala masalah
social; criminal, pengangguran, pelecehan seksual, tindak kekerasan, kecanduan,
narkoba semua terpulang pada kegagalan dunia pendidikan menumbuh kembangkan
siswa menjadi pribadi yang berkarakter dan mandiri. Kita semua telah lalai akan
hal ini.
Program leaderpreneurship adalah
salah satu program pendidikan yang layak dicoba karena didalmnya siswa tidk
akan mendapat perankingan. Tidak ada siswa pintar dan siswa bodoh dalam program
ini. Semua siswa sama sejajar dan berkembang bersama menggapai kemampuan dan
ketrampilan hidup yang disesuaiakan dengan masa depan yang akan mereka hadapi
dan pembentukan karakter unggul yang diperlukan untuk mendukung ketrampilan
yang mereka punya.
Kunci dari perubahan system pengajaran
bukanlah pada apa yang akan diberikan ada siswa tapi pada bagaimana cara
mengajarkannya. Program leaderpreneurship telah secar sistematis merancang
sebuah program bagaimana menanmakan karakter dan kretrampilan hidup yang
diperlukan siswa dengan penggunaan, pendekatan project dalam pengajaran
(project based learning) serta dikuatkan dengan management ruang kelas dan
management tingakah laku yang terpilih dan ketat dalm pelaksanaanya.
Dalam program ini kita akan
meniadakan semua cirri pengajaran tradisional di atas dan akan diganti dengan PRINSIP PRINSIP DASAR PENDIDIKAN ABAD 21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Saya sangat berterimakasih kalau anda tinggalkan komentar disini / Would you please leave a comment or a critique for the sake of my future writing improvements?