Senin, 28 Januari 2013

HAL HAL YANG HARAM DILAKUKAN GURU DALAM KELAS (Bagian 1)




Tak bisa dipungkiri kalau ketenangan dan kenyamanan belajar siswa di dalam kelas adalah syarat mutlak yang harus ada bila kita menginginkan kesuksesan dan tercapainya tujuan penangajaran dan pembelajaran di kelas kelas kita. Oleh karena itu penciptaan kondisi aman dan nyaman dalam kelas adalah sebuah kwajiban yg mutlak juga melekat pada diri setiap guru.
Kwajiban ini tidaklah mudah, karena memang adakalanya kita masuk ke sebuah kelas yang sama sekali belum teratur dengan baik sehingga kekacauan masih mewarnai setiap detik dari keberadaaan kita dikelas tersebut. Namun seberat apapun kondisi ketidakteraturan kelas yang kita masuki, hendaklah tidak membuat guru kalut dan ambil langkah yang tidak tepat untuk mengendalikan kelas. Kesalahan tingkah ataupun tindakan kita dalam mengatur kelas akan memepersulit kita sendiri dalam mengendalikan kelas tersebut dibelakaang hari.
Di dalam tulisan  saya kali ini, saya bermaksud sedikit mengingatkan hal hal yang tidak boleh guru lakukan dikelas dalam mengatur kedisiplinan dan ketenangan kelas. Sekali hal hal “haram” ini ibu dan bapak guru lakukan di kelas, maka bappak dan ibu guru jangan terlalu berharap akan memiliki sebuah lingkungan belajar yang aman dan nyaman baik untuk belajar maupun untuk mengajar sampai bapak dan ibu benar benar kehilangan otoritas untuk mengajar di kelas tersebut.
Inilah hal hal yang harus dihindari oleh guru tersebut;

n  Meninggikan suara agar bisa didengar seluruh siswa yang sedang ribut.
Usaha ini dilatar belakangi pemikiran keliru sang guru yang beraanggapan bahwa kalau suara dia lebih kencang dan lebih keras dari seluruh siswa yang sedang berisik maka seluruh siswa akan mendengarkan dan bisa dikendalikan. Pemikiran ini sanagt sangat sesat, justru sebaliknya siswa tidak akan mendengarkan guru yang bersuara tinggi. Suara tinggi guru akan ditanggapi siswa bukan sebagai peringatan bahwa mereka telah melanggar keteraturan dalam kelas, tapi malah dinggap sebagaai legalitas dari gurunya untuk melanjutkan kebisingan yang mereka ciptakan, karena toh terbukti gurunya juga ikut berisik. Jadi jangan berharap terlalu banyak bila anda sebagai guru sudah ikutan membuat kegaduhan yang lebih keras dibanding kegaduhan yang dibuat oleh siswa anda sendiri.
Yang terbaik bagi guru adalaah meredakaan suara siswanya dengan cara lain terlebih dahulu, setelah siswa siswinya diam dan fokus perhatiannya barulah gurunya berbicara, memeberi nasihata ataaupun melanjutkan pengajarannya.
n  Bereriak dan membentak siswa.
Dalam menangani kasus kenakalan siswa, guru sudah seharusnya mengendalikan emosinya.  Jangan sampai guru mengeluarkan bentakan dan teriakan pada salah seorang atau sekelompok siswa di dalam kelas yang anda semua ajar. Memang betul sebuah teriakan/akan yang lantang akan mampu mengejutkan dan mendiamkan siswa. Namun ongkos yang harus dibayar bisa terlalu mahal. Karena bentakan emosional itu bukan saja akan membekas dihati siswa tapi juga akan meninggalkan luka dihati guru itu sendiri. Siswa yang dibentak secara naluriah akan merasa terancam dan secara instingtif juga akan berusaha membela diri. Dengan demikian diamnya siswa ukan diam karena sadar akan kesalahannya tapi diam karena menunggu tindakan guru selanjutnya itu apa. Diamnya sisw disertai naluri untuk menyerang balik. Walau memang tidak ada lanjutan tindakan guru tapi kesiap siagaan siswa akan bahaya yg secar instingtif muncul tersebut akan meninggalkan rasa waspada dan mencoba akan menjauhi dan membenci sumberbahaya itu. Dan sayangnya yang harus dibenci siswa itu adalh gurunya. Bagi guru sendiri, teriakan emosional yg dilakukan terhadap muridnya juga akan menutup kemungkinan kemungkinan membuat hubungan yang baik dengan siswanya. Bentakan  adalah bentuk upaya penyerangan secara psikologis, dan itu pada akhirnya akan disadari oleh sang guru. Kesadaran telah menyerang atau membuka front “perang” dengan siswanya akan membuat guru kehilangan kesempatan untuk menjalain hubungan yg baik dengan siswanya setidaknya untuk hari itu. Kalau dua kubu telah ada perasaan tidak enak seperti ini bentuk pengajaran seperti apa yang bisa diharapakan terjadi di kelas itu?
n  Mengatakan “saya yang berkuasa di kelas ini”
Pengalaman pribadi penulis, dulu sewaktu masih SMA, saya punya guru Bahasa Inggris yang mencoba menunjukan otorotas dia sebagai guru dengan mengatakan, Saya nggak suka kamu mengganggu saya menhajar di kelas ini. Sekarang kamu yang keluar atau saya yang akan keluar dari kelas ini?”. Sontak penulis berdiri dan keluar kelas sambil membanting pintu kelas.  Semenjak itu hubungan saya dengan guru itu sangat buruk. Saya tidak suka dengan guru tersebut dan pelajaran yang diajarkan sehingag prestasi saya jeblok. Sebaliknya guru tersebut selalu salah tingkah kalau lagi ngajar di kelas saya, saya bersikap seenak saya, cuek, dan tidak pernah menganggap kalau sedang ada guru yang sedang mengajar. Bahkan ada kecenderungan saya memancing lagi kemarahan guru tersebut. Kondisi ini sungguh tidak membuat guru saya itu merasa nyaman, terbukti dia sering tidak masuk ngajar di kelas saya.  Sering sekali Cuma kasih buku suruh catat. Kalau guru itu lewat dan saya pura pura batuk , hremm hremmm, guru itu sama sekali tdk berani menoleh. Dia terteror  selama tiga tahun selama keberadaan saya di SMA itu, krn guru itu melakukan kesalahan di awal saya sekolah disana. Anda ingin merasakan suasana yang sama?
n  Berdebat dengan siswa.
Adakalanya krn kesalahan pendekatan dan kesalahan intonasi dari ucapan guru, siswa yang dinasehati bukannya sadar tapi malah membantah atau cari cari alasan. Guru yang kurang wawasan akan terpancing untuk berdebat dengan siswa tersebut sampai siswa tidak bisa berucap apa apa lagi. Hal ini sangat buruk untuk dilakuakn seorang guru karena perdebatan itu akan menurunkan minat belajar seluruh siswa dikelas tersebut dan juga membuat kikuk guru untuk malnjutkan mengajar. Jagalah hati sendiri dan jagalah hati siswa anda dengan tidak mendebat siswa. Tunjukkan kesalahannya dan jalankan konsekwensi seperti prosedur dan aturan kelas yang berlaku. Jangan pedulikan kalau siswa mengajak berebat anda.
n  Sok berwibawa dengan muka yang diserem seremin atau dengan gerakan tubuh kaku patah patah agar kelihatan hebat dan wibawa.
Satu kalimat saja untuk ini. Sikap dan gerak tubuh anda yg ingin sok wibawa ini Cuma akan jadi bahan candaan siswa baik anda ada di dalam kelas ataupun anda tidak di dalam kelas.  Anda sendiri bapak dan ibu guru yang akan menentukan masih akan berbuat begitu atau tidak di masa yang akan datang.
n  Menghina dan merendahkan siswa.
Usaha membuat diam siswa dengan merendahkan atau menghina siswa adalah usaha yang sangat salah. Hinaan seorang guru bagi siswanya itu lebih menyakitkan dari hinaan yang lain, karena siswa banyak berharap gurunya menyayangi dia bagai orangtua kedua. Harapan yang lebih terhadap guru inilah yang membuat hinaan , cacian dan makian guru terasa lebih menusuk dan melukai siswa. Apalagi kalau hinaan guru ini (walau diucap sambil becanda) diikuti oleh tawa temen teman sekelasnya. Anda sebagaai guru pasti tidak akan membayangkan balasan apa yang akan dilancarkan siswa yang anda hina. Jadi sebaiknya hal seerti ini jangan dilakukan. Dulu temen saya ada yang bergumam “ ntar lewat mana tuh guru?’. Ucapan lirih teman saya yang bisa didengar guru dan siswa sekelas itu, sempat membuat guru tergagap dan sulit berucap.
n  Sinis
Ucapan sinis menunjukkan betapa anda sebagai guru tidak menghargai dan menghormati siswa anda. Sperti hukum dimanapun, anda hanya akan mendapatkan apa yang anda beli. Kalau anda tidak menghormati siswa anda,  bagaimana anda bisa berharap mendapatkan penghormatan dari siswa. Ingat peptah yang mengatakan “siapa yang menanm dia yang mengetam” tanamlah kebaaikan dan anda akan panen kebaikan.
n  Memberi cap siswa.
Memberikan “cap” negatif pada siswa seperti mencapa siswa sebagai siswa yang nakal, bodoh, atau tukang ribut adalah tindakan yang kurang tepat. Siswa yang diberi cap, kalau dia dari golongan yang introvert, siswa tersebut akan meyakini kalau dirinya bodoh dan tidak berguna, ini akan membuat siswa makin kehilangan percaya diri, kehilangan semangat belajar, dan menambah beban penderitaan bathin siswa karena merasa bahwa dia terlahirkan dengan kondisi yang buruk dan tak punya masa depan. Percayalah tidak akan ada guru yang bisa membuat siswa seperti ini pintar. Bukan itukan tentunya tujuan bapak dan ibu guru berada di dalam kelas? Bagi siswa yang ektrovert dan pencari perhatian, mereka akan senang dengan cap itu karena mereka merasa ada yang memperhatikan. Mereka akan sebisa mungkin capa itu tiddak lepas dari dirinya. Mereka akan sangat bangga ketika ada orang cerita tentang kenakalannya dan keberaniannya terhadap guru di kelas. Memberi cap pad siswa Cuma akan membuat guru mati gaya.
Wahhh dah ngantuk, saya cukupkan disini dulu yah...nanti insyaallah akan saya tulis kelanjutannya............

Senin, 21 Januari 2013

pergeseran Peran dalam dunia pendidikan di masa depan menurut Eric Jordan.




Sejak sekitar dua dasawarsa terakhir banyak kita dengar para pemerhati, para pakar dan para pelaku pendidikan di tanah air tercinta berbicara  tentang pergeseran paradigma dan metodologi pendidikan yang bakal terjadi diwaaktu yang dekat dan oleh karena itu perlulah kiranya dunia pendidikan memulai mentransformasi diri menuju bentuk pendidikan yang sesuai dengan jaman dimana para pelajar akan berada. Nyatanya memang pergeseran dan perubahan di dunia pendidikan walau dengan sangat pelan terjadi di negri ini. Pergantian kurikulum nasional yang begitu sering adalah salah satu indikasi bahwa sedang terjadi evolusi pendidikan secara nasional. Kurikulum yang berubah rubah adalah bentuk nyata dari kegamangan pemerintah dalam menentukan bentuk pendidikan yang tepat bagi anak bangsa.

Perubahan paradigma pendidikan bukan  hanya terjadi di indonesia, dibelahan dunia dimanapun, para pelaku pendidikannya sedang sibuk membelokkan arah pendidikan yang menurut mereka akan sesuai dengan kebutuhan masa depan. Perubahan struktur, bentuk, paradigma, muatan, dan arah pendidikan yang terjadi diyakini juga akan menggeser peran peran tradisional di dalam dunia pendidikan. Eric Jordan, President Premier’s Technology Council menengarai model baru pendidikan dimasa depan yang lebih kolaboratif dan inklusif, akan mengubah peran peran tradisonal dari siswa, guru, dan orangtua. Beberapa pergeseran sudah lama dimulai, seperti hubungan antara guru dan siswa telah berevolusi perlahan-lahan. Kita secepatnya akan terpaksa mempercepat transformasi dari sistem pendidikan dan peran di dalamnya  ke arah yang lebih lengkap karena begitu cepatnya pula perubahan jaman, sebagai akibat berkembangnya tehnologi yang begitu masif. Perubahan peran yang dimaksud Jordan adalah sebagai berikut:

• Dari siswa yang pasif menjadi pembelajar yang aktif:
Pada lingkungan pendidikan tradisional, siswa itu ibaratnya ember kosong yang siap diisi oleh guru guru mereka sebagai pengajar atau pendidik. Siswa tidak lagi punya kesempatan memilih apakah yang disikan itu benar apa salah, baik apa buruk. Apa yang didapat siswa hanyalah apa yang diketahui gurunya. Itupunkalau daya serap siswa 100%, lah kalau Cuma 20%? Disanalah letak malapetakanya, siswa dianggap bodoh dan tidak punya harapan. Sumber informasi, sumber pengetahuan dan bahkan sumber harapan Cuma dari satu arah, GURU. Ketika kemajuan tehnologi menyentuh dunia pendidikan dan membawa angin kemajuan bagi siswa. Siswa mulai mendapat kesempatan yang lebih luas untuk menentukan sendiri  jalan mana yanga akan membawa mereka ke masa depan. Mereka mulai mengambil alih tanggungjawab atas masa depan mereka sendiri. Mereka mulai melihat banyak sumber sumber informasi lain selain guru mereka. Sebagai seorang guru haarus juga cepat tanggap akan kondisi ini, jangan sampai guru akan jadi bahan tertawaan karena bertindak, berbuat atau bahkan memberi informasi yang salah pada siswa siswinya. Kuasailah juga tehnologi yang para siswa kuasai. Ini adalh ke harusan jangan sampai ketinggalan jaman dan jadi bulan bulanan siswanya.  Kalau guru secepatnya menyadari akan pergeseran peran siswa ini, sebetulnya guru masih bisa ambil keuntungan dari kondisi ini. Karena guru bisa menggunakan kemampuan belajar yang lebih terbuka, yang lebih exploratif dikarenakan perkembangan tehnologi informasi ini, untuk mengembangkan kemampuan siswa siswi itu sendiri dengan mengambil peran sebagai fasilitator dan pemandu saja. Siswa siswi di era digital ini, mereka sangat akrab dgn tehnologi dan sangat mampu menggunakan tehnologi itu untuk belajar, dengan cara belajar yang berbeda dengan cara belajar gurunya dulu dan juga beda dengan cara belajar yang ditawarkan gurunya. Tehnologi memebrikan ruang yang lebih leluasa bagi mereka untuk belajar dan mengakses informasi. Selain itu tehnologi telah menyediakan gaya hidup yang lebih fleksibel, lebih berwarna dan menyediakan berbagai macam pekerjaan dan karir yang tidak bisa dinikmati gurunya.

• Dari Orang Tua sebagai Pendukung proses belajar menjadi  sebagai Peserta dalam proses belajar:
Dahulu orang tua itu Cuma berperan sebagi pendukung proses belajar mengajar bagi anak anaknya. Mereka menyediakan biaya untuk pendidikan dan siap mencarikan keperluan apa saja demi suksesnya proses belajar bagi anaknya. Namun kemajuan tehnologi informasi ternyata juga membawa perubahan bagi peran mereka dalam pendidikan. Bukan saja mereka harus mampu memberi dukungan pada proses belajar putra putrinya, tapi tehnologi telah memberi mereka kesempatan untuk bisa ikut membimbing putra putrinya untuk menerima atau tidak menerima informasi yang ada. Dengan tehnologi yang ada orangtua bisa mengarahkan putra putrinya dari mana informasi yang tepat bisa diambil dan memeberi arahan mereka dalam mengambil keputusan penting dalam proses belajarnya. Orang tua juga bisa menunjukkan cara mengatasi tantangan yang ada  dan ikut menentukan hasil pembelajaran, karena dengan  tehnologi yang ada orangtua dimungkinkan untuk memantau, mengkontrol dan bahkan mengarahkan putra putrinya dari jarak yang sangat jauh. Belajar yang melebihi apa yang disediakan sekolah adalah hal yang sangat penting dilakukan oleh siswa jaman sekarang, dan orantua menemukan peran barunya disana.

• Dari Guru sebagai sumber pengajar dan sumber pembelajaran menjadi guru hanya  sebagai  fasilitator dan penunjuk arah serta pendamping siswa belajar.
Seperti sudah disinggung diatas, tehnologi merubah paradigma belajar siswa, artinya paradigma guru juga pasti berubah. Tehnologi sangat memungkinkan siswanya lebih banyak mendapat informasi dibanding gurunya. Itu artinya sangat dimungkinkan siswa lebih banyak tahu dibanding guru. Oleh karena itu guru sudah seharusnya tidak berlagak lagi sebagi Mr. Segala tahu. Biarkan siswa belajar dengan gaya dan cara mereka sendiri. Guru cukup mengikuti perkembangn informasi dan mengarahkan mereka, agar informasi yang didapat siswa bermanfaat bagi masadepannya dan tidak malah merusak moralitas dan spiritualitas siswa.
Sudahkah kita semua siap menghadapi perubahan itu?

Minggu, 20 Januari 2013

Melirik Sekilas Keterampilan Sosial Yang Diperlukan Siswa Kita.





(Gresham & Elliott, 1990) mengartikan ketrampilan sosial itu sebagai tingkahlaku yang dipelajari dan bisa diterima secara sosial  yang memungkinkan seseorang untuk berinteraksi secara efektif dengan orang lain dan memungkinkan orang tersebut menghindari atau terlepas dari interaksi sosial  negatif dengan orang. Dengan demikian jelas bahwa yang dimaksud ketrampilan sosial adalah kemampuan kita untuk bermasyarakat, bergaul dengan orang lain dan berkomunikasi secara baik dengan orang lain. Ketrampilan ini sangat diyakini sebagai prasarat kesuksesan kita dalam menjalani hidup dan tentunya adalah salah satu kunci sukses bagi anak didik kita disekolah.

Namun nampaknya kemampuan berketrampilan sosial ini tidak akan menunggu terlalu lama ke masa depan untuk membuat seseorang gagal dan jadi pecundang. Sejauh pengalaman penulis jadi guru dan dosen, penulis telah menyaksikan begitu banyak siswa ataupun mahasiswa yang memiliki kesulitan dalam berinteraksi dan bersosialisai dengan orang lain dan tak satupun dari mereka mempunyai prestasi akademik yang menonjol. Bahkan siswa siswi yang ber IQ tinggipun gagal memposisikan diri sebagi siswa yang berhasil secara akademis. Tak kurang penulispun pernah mengalami hal yang sama. Prestasi akademis hancur luluh ketika mengalami kesulitan berinteraksi dengan teman baru disekolah yaang lebih tinggi.  Oleh karena itu, penulis mengajak pada seluruh guru dipersada nusantara ini untuk perhatian dan membantu siswa siswi yang mengalami kesulitan bergaul atau tidak memiliki ketrampilan sosial yang memadahi disekolah.  Hal ini perlu kita lakukan agar seluruh siswa siswi kita benar benar optimal belajarnya dan mampu mengembangkan potensi dirinya semaksimal mungkin.



Stephen N. Elliott, PhD,  Professor Vanderbilt University Nashville, menyebutkan tujuh (7)  kategori mayor keterampilan sosial yang diperlukan siswa siswi sekolah:

- kemampuan Komunikasi
Diantaranya adalah kemampuan bergantian bicara dalam sebuah sesi percakapan. Siswa wajib diajarakan untuk sabar mendengarkan orang bicara tidak boleh menyela sampai pembicara menyelesaikan pembicaraannya. Sehingga siswa terbiasa menghormati orang lain dan mampu menjadi pendengar yang baik. Setelah lawan bicara selesai berbicara barulah kita memeberi tanggapan sehingga tidak akan timbul kegaduhan dalam pembicaraan. Selain itu kemampuan membuat kontak mata dengan lawan bicar juga sangat penting untuk dipelajari. Karena kontak mata itu bisa menandakan penghormatan dan keseriusan orang yang lagi berbicara. Tanpa kontak mata yang benar pembicaraan akan menjadi hambar dan interaksipun bisa bubar.

- Kemampuan Bekerjasama

Kemampuan bekerjasama adalah kemampuan mengkompromikan kepentingan pribadi dengan kepentingan orang lain. Selain itu kemampuan bekerjasama juga berarti kemampuan untuk mengedalikan diri untuk tidak melanggar peraturan yang berlaku atau diberlakukan, karena kemampuan bekerjasama itu meniadakan penghianatan dengan rekan kerja.

-Sikap tegas

Walau siswa diajarkan untuk bekerjasama dengan pihak lain, yang dalam hal ini berarti harus mengkompromikan kepentingan dan kebutuhan bersama. Namun siswa harus diajarkan sikap yang tidak kompromis dan permisif. Siswa harus pula diajari kapan mereka harus tegas bersikap. Serta diajarkan untuk berani mempertanyakan ketidakadilan bila diperlukan. Tanpa sikap ini siswa akan berlari pada kondisi mudah dipermainkan dan ditipu orang lain. Oleh karena itu etegasan sikap sangat diperlukan dan diajarkan dalam rangka pengajaran ketrampilan sosial.

-Tanggung Jawab
Sikap tanggungjawab siswa bisa diajarkan dengan pengajaran untuk menghormati dan menjaga properti orang lain. Selain itu mengajarkan sikap kestria untuk berani mengakui dan mempertanggungjawabkan perbuatan pribadi juga diperlukan untuk mempertajam sikap dan rasa tanggungjawab siswa siswi kita.

-ketrampilan Berempati

Ketrampian berempati terdiri dari kamampuan untuk bisa ikut merasakan penderitaan, kesusahan, kesulitan dan juga kebahagian orang lain. Siswa wajib diajarkan untuk bersikap yang tepat saat menghadapi orang lain yang dalam kondisi psikologis seperti itu. Ketrampilan berempati ini kalau sudah tertanam pada diri siswa mereka akan merasa buruk kalau tidak bisa menunjukkan sikap yang tepat saat temannya sedang dalam kondisi bersedih.

-Ketrampilan bergaul atau melibatkan diri dalam suatu kumpulan sosial.

Ketrampilan ini akan ditandai kemampuan siswa mencari teman dengan mudah. Mereka bisa diterima setiap orang, bisa masuk di segala kelompok. Selain masuk dalam lingkaran kelompok tertentu kemampuan siswa juga harus dikembangkan untuk mampu mengundang orang lain masuk dalam kelompoknya atau mengundang orang lain untuk bersahabat dengan mereka.

-Kemampuan kontrol diri

Kemampuan kontrol diri perlu diajarkan pada siswa siswi kita agar mereka mampu berkompromi untuk meredam konflik atau mampu mencari pemecahan permasalahan yang berhubungan dengan pihak lain tanpa konflik terbuka. Lebih mantap lagi adalah siswa mampu tetap tenang pada saat mereka digoda, diremehkan atau dicaci maki.....


PERLUNYA PENGAJARAN KETRAMPILAN SOSIAL DISEKOLAH KITA





Akhir akhir ini banyak pendidik, ahli pendidikan maupun pejabat pemerintahan yang berbicara tentang kecakapan hidup yang harus diajarkan pada anak didik. Artinya saat ini banyak orang berkeyakinan bahwa kepandaian saja tidak cukup untuk membuat siswa sukses dalam kehidupan dibelakang hari. Salah satu ketrampilan hidup yang harus dipunya siswa sebagai syarat kesuksesan masadepan adalah ketrampilan sosial.  Apakah ketrampilan sosial itu?  Menurut  wikipedia ketrampialn sosial diartikan sebagai “ any skill  facilitating interaction and communication with others”, ketrampilan yang memudahkan berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain. Tentu saja definisi tersebut masih bisa dilanjutakan dengan menambah ‘dengan damai menyenangkan dan tanpa pertentangan maupun ketersinggungan”.
Tentu kita semua setuju bahwa kemampuan sosial ini sangat penting bagi siswa siswi kita untuk meraih kesuksesan jangka panjangnya. Karena ketrampilan sosial ini akan memastikan kemampuan siswa siswi  kita membawa diri ditengah tengah kehidupan sosialnya. ketrampilan ini tak bisa disangkal lagi adalah gabungan dari kemampuan untuk memahami diri sendiri dan mengelola emosi pribadi (Intra-personal skill) dan kemampuan untuk memahami dan merespon orang lain (inter-perosnal skill) yang dipadu dengan kemampuan komunikasi (commmunication skill).
Dalam kehidupan pengajaran tiapa hari disekolah sekolah kita, sebetulnya sudah banyak guru yang menyadari pentingnya kemampuan sosial ini. Sehingga ada begitu banyak guru yang senang sekali memindah meindahkan tempat duduk siswa, dengan tujuan agar siswa bisa menjalin hubungan dengan semua siswa bukan Cuma satu atau dua siswa dari sekian banyak siswa di dalam kelas.  
Namun sayangnya, dengan mendudukan siswa secara acak atau mendudukan mereka secara bersama-sama tidaklah  cukup untuk menjamin tumbuh kembangnya komunikasi antar siswa ataupun kerja sama tim. Banyak siswa yang  tidak tahu bagaimana cara berinteraksi secara tepat dengan teman sekelas mereka. Mereka bahkan  tidak memiliki keterampilan sosial yang cukup untuk melaksanakan tugas-tugas kelompok yang diberkan gurunya, sehingga seringkali tugas kelompok hanya dikerjakan oleh satu atau dua dari anggota kelompok dan yang lain titip nama.  
Ketidakmampuan siswa dalam masalah ketrampilan sosial ini dimungkinkan sebagai akibat dari kesalahan belajar mengajar disekolah.  Arnold Golstein, seorang ahli masalah masalah pengajaran keterampilan sosial untuk siswa dengan gangguan perilaku meyakini  ada empat alasan utama mengapa siswa tidak memiliki keterampilan sosial, seperti dijelaskan dibawah ini.
(1) Mereka tidak tahu cara untuk bertindak ataupun merespon tindakan orang lain selain pola perilaku yang mereka pelajari untuk lingkungan khusus mereka. Begitu mereka berada dilingkungan yang berbeda mereka kebingungan apa yang harus mereka lakukan.Banyak dari anak-anak kita tidak pernah belajar "perilaku yang tepat" untuk pada kondisi sosial tertentu, situasi di mana mereka harus berinteraksi berhubungan dengan orang lain yang berbeda. Mungkin mereka tidak menerima bimbingan yang tepat dalam hal ini di rumah,baik karena orang tua yang tidak peduli, atau karena sistem nilai-nilai dan lingkungan mereka berada memang tidak sama dengan yang dirumah. Mungkin saja mereka memiliki pendidikan tingkah laku , etika dan sopan satun yang baik di rumah dan lingkungannya, tetapi anak-anak kita tidak menjumpaia nilai nilai yang sama disekolah sehingga anak anak jadi gamang dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.
(2) Mereka bisa saja sebetulnya tahu bagaimana berperilaku, tetapi mereka belum biasa ataau belum punya cukup latihan untuk berlaku seperti itu, biasanya ini dikarenakan siswa siwa ini merasa inferior, berbeda  atau merasa bukan golongan dari teman temannya. Sementara mereka sebetulnya menunggu teman temannya yang menarik siswa siswi ini dalam percaturan sosial dan pergaulan, tapi sering seringnya undangan yang diharap pun tidak datang. Maka siswa siwi ynag kesulitan bergaul ini jadi makin tersisih saja. Makin lama malah akan jadi siswa yang aneh.
(3) Mereka sebutul pernah mencoba suatu cara untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman temannya, tetapi usahanya  tidak berhasil pada saat percobaan pertama kali, sehingga mereka menganggap bahwa memang mereka tidak akan bisa bergaul dengan teman temannya. Mengingat pengalaman kegagalan mereka itu, mereka akan kembali pada titik nol dan mencoba bertahan disana, sampai ada yang memasukkan dalam pergaaulan yang mereka inginkan.  Sudah jamaknya kita manusia kalau pernah mencoba melakukan sesuatu dan gagal jarang ada yang berani mencoba lagi. Begitu pula siswa siswi kita, ketika mereka gagal bergaul dengan teman temannya pada percobaan pertama mereka akan cenderung berhenti melakukannya
 (4) Adanya ketegangan dan kecemasan yang merusak kemampuan untuk melakukan perilaku yang bisa diterima dalam lingkungan sosial  dalam kehidupan nyata. Kondisi psikologis ini sering sering menjadikan siswa siswi kita salah tingkah, yang akan berujung pada tingkah laku yang wagu dan kelihatan lugu. Dalam kondisi ini akan dipandang oleh teman temannya sebagai lucu atau malah menyebalkan, sehingga siswa yang salah tingkah ini jadi tidak cukup berharga untuk “ditemani”. Jadilah hambatan siswa ini untuk mampu bergaul dan berinteraksi semakin besar.
Itulah sebabnya sekolah sebagi institusi pendidikan wajib membuat program khusus untuk menolong siswa siswinya yang kurang mampu bersosialisasi atau yang tidak memmiliki ketrampilan sosial ini.  
Umumnya, kurangnya  keterampilan sosial ini dikarenakan kurangnya kesempatan untuk belajar atau kurangnya contoh model perilaku yang sesuai (Gresham & Elliott, 1989). Kemudian apakah yang harus diajarkan guru pada muridnya yang kesulitan dalam kehidupan sosialnya ini?  Hazel, Schumaker, Sherman, dan SheldonWildgen (1981) dalam ; ASET: Sebuah program keterampilan sosial bagi remaja. Champaign, ll: Penelitian Press, mencatat delapan keterampilan sosial yang mendasar yang dapat diajarkan melalui instruksi langsung dilingkungan sekolah:
1. Kemampuan memberikan umpan balik secara positif (misalnya, berterima kasih dan memberikan pujian).
2. Kemampuan memberikan umpan balik negatif dengan santun (misalnya, memberikan kritik atau koreksi),
3. Kemampuan menerima umpan balik negatif tanpa permusuhan atau reaksi yang tidak sepantasnya,
4. Kemampuan menolak tekanan rekan untuk ikut berpartisipasi dalam perilaku nakal,
5. Kemampuan memecahkan masalah pribadi,
6. Kemampuan menegosiasikan permasalahan dan solusinya  yang dapat diterima bersama ,
7. Kemampuan mengikuti petunjuk, dan
8. Kemampuan memulai dan mempertahankan percakapan.          
Singkatnya, siswa dengan kekurangan kemampuan sosial  dan belum punya  keterampilan sosial ini tidak mungkin untuk belajar sendiri  atau belajar secara kebetulan. Intervensi dari guru dan sekolahan serta orangtua sangat diperlukan.  Mereka memelukan metode pembelajaran yang efektif meliputi demonstrasi / pemodelan dengan praktek dipandu dan umpan serta situasi yang mendorong mereka untuk belajar berkomunikasi dan bergaul dengan banyak orang.

Jumat, 18 Januari 2013

Sedikit Tentang Peraturan atau Tata tertib Sekolah.





Kalau kita mengharap keteraturan haruslah ada standard atau aturan yang dijalankan. Logika ini sudah lama berlaku dan masih berlaku sampai sekarang. Logika keteraturan memelukan aturan juga diyakini oleh sekolah sekolah kita, makanya tidak ada satu sekolahpun dimuka bumi ini yang tidak punya peratura ataupun tata tertib sekolah. Bahkan banyak sekolah yang menuliskan besar besar peraturannya didepan sekolah agar semua orang bisa membaca dan mengerti, walau tujuan yang sesungguhnya adalah agar team assesor akreditasi sekolah melihatnya. Iya nggak?
Walau membuat tata tertib sekolah adalah hal yang biasa dilakukan oleh guru dan sekoah manapun, akan tetapi sangat jarang guru atau sekolah yang berfikir apakah aturan main yang mereka gariskan itu akan bisa efektif dijalankan atau akan berakhir seperti banyak aturan yang lainnya; aturan tinggal aturan kapan dilaksanakannya kapan, itu tidak terlalu penting. Bahkan ada adagium kalau peraturan itu dibuat untuk dilanggar. Mengenaskan bukan?
Nah bapak dan ibu guru yang saya hormati, kalau bapak dan ibu ingin seluruh usaha pendidikan yang bapak dan ibu guru lakukan bermakna, tentu baapak dan ibu guru harus membuat segala sesuatu yang  dilakuan harus bermakna pula. Termasuk tata tertib yang bapak ibu buat. Kalau peraturan yang bapak dan ibu guru tetapkan tidak dilakukan secara efektif bapak daan ibu guru sudah membuka peluang untuk membuat semua yang bapak ibu lakukan disekolah kurang bermakna bagi siswa. Kalau tidak ada hal yang berarti dan bermakna bagi siswa, mereka akan meremehkan semua hal yang ada, termasuk diantaranya mereka akan meremehkan pelajaran yang ada, meremehkan gurunya dan bahkan tidak menganggap penting sekolah.  Bagaimana juga kita mengharapkan mampu mencetak manusia manusia yg berdisiplin tinggi, berkarakter baik, dan berprofil hebat, kalau tidak ada tuntunan kedisiplinan dari gurunya?
Kelemahan kita untuk secara disiplin menerapkan tata tertip atau aturan sekolah adalah karena peraturan sekolah terlalu rumit dan panjang lebar sehingga sulit untuk diingat, bahkan untuk membacanya pun ga ada yang sempat; termasuk guru gurunya. Kondisi begini akan mendorong pada pembiaran setiap pelanggaran karena gurupun akan malas mencari pasal yang dilanggar siswa. Paling mentok guru paling akan bilang ‘eitt ga boleh begitu’ sambil berlalu. Efeknya siswa merasa bahwa apa yang dilakukan masih OK maka besok pelanggarannya akan ditingkatkan kadarnya. Kekacauan yang dibiarkan dalam jangka waktu yang lama akan menjadi kebiasaan. Kebiasaan akan jd karakter. Dan karakter tidak disiplin inilah yang sekarang mendominasi watak siswa siswi kita diseluruh pelosok negri. Itu artinya tidak banyak sekolah yanh konsisten memegang teguh peraturannya.  Bolos, tidak mengerjakan PR, berani sama gurunya, tidak ada sopan santunnya, pelcehan sexsual, sex bebas dikalangan pelajar, tawuran adalah buah dari ketidakpedulian guru atas peraturan sekolah.
Nah akibat pembiaran ketidak disiplinan ini tentu tidak akan kita biarkan terus terjadi bukan? Bagaimana caranya? Ya kita mulai dari bikin aturan yang mudah dijalankan.  Dalam tulisan yang ga beraturan ini saya akan jelaskan beberapa syarat membuat peraturan sekolah yang bisa dijalankan dengan efektif.
         bisa dimengerti
membuat peraturan sekolah haruslah menggunakan kata kata yang lugas dan tidak bersayap, agar bisa dimengerti.  Dengan mudahnya aturan dipahami siswa, bukan saja siswa akan mudah menjalankan aturan tersebut, tapi juga siswa tidak akan mampu membantah kalau mereka melanggar peraturan tersebut, karena semuanya sudah jelas. Dan artinya gurupun akan dengan mudah menunjukkan kesalahan yang dilakukan siswa.
         bisa dilaksanakan
Syarat kedua peraturan adalh bahwa peraturan itu haruslah mudah dilaksanakan. Peraturan seperti “siswa harus menciptakan suasana yang kondusif untuk memperlancar kegiatan belajar mengajar” atau “Siswa dilarang mengenakan riasan yang berlebihan, tidak wajar, dan tidak sesuai dengan umurnya” adalah peraturan yang tidak jelas dan oleh karena itu akan sangat sulit dilaksanakan. Jadi buatlah peraturan yang lebih sederhana bahasanya dan bisa dilaksanakan.
          tidak melanggar kehormatan dan pribadi seseorang
Peraturan juga tidak boleh melanggar kehormatan pribadi seseorang atau golongan. Siswa siswi kita berkarakter beda dengan siswa siswi yang sekolah tahun 70-80an. Pada tahun tahun 70an mayoritas sekolah mempunyai  siswa yang homogen; dari suku yang sama, oakai bahasa yang sama, adat istiadatnya sama, kebudayaannya sama, agamanya sama, bahkan makanannya dan tingkat kelas sosialnyapun sama. Sehingga peraturan akan lebih gampang dibuat. Sekarang siswa siswi kita lebih beragam baik asal usul, kebudayaan, agama, kebiasaan, kelas sosialnya juga berlainan, oleh karena itu buatlah peraturan yang tidak menyinggung salah satu dari mereka.
         Jangan menggunakan kata “jangan” ataupun “tidak”.
Kalau saya katakan bikin peraturan jangan memakai kata “jangan” ataupun “tidak”, biasanya para guru selalu merespon dengan kalimat ‘ iya, betul karena kita harus selalu berfikir positif, positive thinking”.  Dan biasanya saya merespon balik dengan tersenyum sambil berkata, “benar sekali, kita harus selalu berfikir positif, berfikir positif akan membuat semangat kita tak pernah padam, tidak ada kata ‘putus asa”. Namun sebetulnya latar belakang dari peraturan yang tidak memakai kata “jangan” ataupun “tidak”, bukanlah masalah positive thinking.  Karena kedua hal itu berbeda dan tidak berada di kapal yang sama. Kata “jangan” ataupun “tidak” dalam peraturan itu pada galibya akan membingungkan siswa maka kita tidak boleh memakainya. Dengan berteriak “jangan berisik!” bapak dan ibu guru memang bisa mencegah siswa membuat gaduh kelas, namun siswa masih belum mengerti apa yang gurunya inginkan mereka lakukan. Coba kalau gurunya berkata ; “ semuanya duduk yang rapi dan dengarkan saya!” siswa langsung tahu apa yang harus dilakukan dan ngerti apa yang harus ditinggalkan.
         Tegas
Peraturan yang tegas adalah peraturan yang dilakukan secra efektif, artinya siapa yang melanggar akan mendapat konsekwensi dari pelanggran yang dilakukan. Oleh karena itu peraturan yang diberlakukan harus disertai konsekwensinya.
         Adil
Peraturan akan terasa adil kalau dilakukan tanpa pandang bulu, siapapun, kapanpun dimanapun peraturan dilakukan maka konsekwensi itu harus dijalankan. Padang bulu juga berarti bulunya pak guru dan bu guru, artinya pelanggran itu diketahui guru yang mana saja maka konsekwensi itu akan tetap berlaku. Sebab kalau hanya satu dua guru saja yang menjalankan peraturan dengan benar maka siswa akan membuat penilaian tersendiri pada masing masing guru. Dan ini akan tidak bagus bagi pengembangan disipilin, watak, dan tabiat siswa. Selain peraturan harus dipatuhi oleh siswa seluruh komponen sekolah juga harus seia sekata menegaka aturan tersebut.
         Konsisten
Konsisten itu bermakna konstan, tetap atau sama. Peraturan yang diberlakukan disekolah haruslah selalu konsisten, semua orang diperlakukan sama. Jangan sampai hari ini si A tidak mengerjakan PR, dia diminta mengerjakan Prnya diruang guru saat istirahat sehingga dia tidak sempat istirahat dan makan siang, besoknya si B tidak mengumpulkan PR cum diomel omelin saja atu bahkan dibiarkan saja. Ketidak konsistenan ini akan mebuat siswa tidak akan menghormati peraturan, guru dan sekolahnya. Kalau sudah begitu harapan untuk mendidik siswa kita  jadi pribadi yang matang dewasa tidak akan pernah terwujud. Dan kita akan kembali mendapati siswa kita hamil diluar nikah, atau tawuran dijalan.

Sebagai tambahan pemahaman, penulis sarankan untuk mengajak siswa membuat peraturannya sendiri dan menetukan konsekwensinya. Dengan melibatkan siswa dalam membuat aturan kita telah mengajarkan rasa tanggungjawab, kepercayaan pada diri sendiri, dan sekaligus mereka merasa dipentingkan. Begitu peraturan dan konsekwensinya jadi, siswa akan lebih merasa wajib patuh karena peraturan itu mereka yang membuat sendiri. Untuk konsekwensinya guru harus hati hati dalam mengarahkan siswa saat membuatnya. Jangan sampai konsekwensi berubah jadi hukuman yang merendahkan derajat siswanya. Untuk hal ini mungkin bisa dibaca diartikel saya yang lain, Hukuman, konsekwensi, dan siswa nakal dalam manajemen tingkah laku (behaviour management). Selamat membuat peraturan ataupun tata tertib sekolah. Semoga sukses...



Kamis, 17 Januari 2013

Pengembangan kondisi ruang kelas yang mendukung pendidikan abad 21




Maaf sekali , penulis sudah lama sekali tidak menambah tulisan, tapi syukurlah Alhamdulillah akhirnya tulisan ini bisa sampai di hadapan sidang pembaca. 

Seperti sudah berulang kali penulis sampaikan bahwa kunci keberhasilan pendidikan di sekolah adalah kemampuan guru untuk membangun dua aspek psikologis siswa di kelas yaitu; rasa aman dan nyaman.  Rasa aman yg didapat siswa akan berpengaruh pada tingkat kesiapan kejiwaan siswa dalam menuntut ilmu. Perasaan aman dan terjauh dari ancaman fisik dan ancaman mental membuat siswa bersemangat dalam belajar dan bangkit rasa ingin tahunya. Tiada kecemasan yang bersinggasana di hati membuat siswa makin berani mengeksplorasi ilmu yang mereka butuhkan dan berani mengexplorasi kemampuan diri. Sehingga sehatlah perkembangan intelektualitas, semangat dan jiwanya.
Di lain pihak rasa nyaman akan menjamin tingkat kesiapan siswa secara fisik untuk bertumbuh kembang. Kenyamanan mengindikasikan tidak adanya aral atau gangguan secara fisik pada siswa yang sedang belajar. Kenyamanan menjauhkan siswa dari keluhan dan alasan untuk tidak belajar dgn baik. Kalau dua kondisi tersebut bisa diwujudkan sekolah ataupun bapak/ibu gurunya, betapa dahsyatnya hasil pendidikan yang akan dibawa pulang oleh siswa siswinya.
Nah dalam tulisan ini, mari kita coba apa yg bisa kita lakukan di kelas untuk menciptakan kondisi aman dan nyaman tersebut demi masa depan siswa siswi kita dan masa depan bangsa ini secara umumnya. Karena pengajaran dan pembelajaran itu terjadi di ruang kelas maka tentu tidaklah aneh kalau saya katakan bahwa yang harus kita lakukan adalh membenahi kelas kita.  Kelas memang berwujud fisik namun sejatinya ruang kelas juga memiliki bagian psikisnya. Oleh krena itu untuk menciptakan kelas yang aman dan nyaman bagi siswa siswi kita, kita harus membenahi dua aspek yang melingkupi ruang kelas kita tersebut.
A.      Kita mulai dari pembenahan ruang kelas kita secara fisik dulu.
Hal pertama yang harus kita perhatikan dari ruang kelas kita secara fisik adalah tata letak atau lay-out dari perabot dan peralatan belajar lain di kelas. Karena tata letak kelas ini akan berengaruh pada kemampuan guru menangani dan mengatur kelas serta jalannya belajar selama guru itu mengajar.  Bahkan tata letak / lay-out sebuah kelas akan besar pengaruhnya pada gaya belajar siswa dan metodologi pengajaran yang akan diterapka seorang guru. Tata letak kelas yg tradisional dengan bangku yang berderet deret kebelakang  misalnya, tidak akan memungkinkan guru mengajar dengan metode active learning, atau student-centered learning. Hal ini disebakan oleh kondisi tata letak yang membuat siswa menghadap ke satu arah dan guru hanya bisa berada didepan kelas dalam mengajar. Kondisi ini lebih mendorong guru untuk ceramah ketimbang mendorong guru untuk mengembangkan metodologi pengajaran yang lain. Akhirnya mau tidak mau suka tidak suka, active learning tidak akan pernah terjadi dgn tata letak yang tradisional. Dengan begitu jelas, penulis mendorong gurur untuk mampu membuat lay-out kelas yang lebih fleksibel dan memungkinkannya siswa belajar lebih aktiv namun terasa aman dan nyaman. Sebagai panduan ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan guru dalam mendisin ulang tata letak di dalam kelasnya:
a.       Tata letak sesuai dengan kebutuhan

Tata letak mebeler dalam kelas harus disesuaikan dgn kebutuhan pengajaran. Untuk memebri ujian, untuk diskusi, untuk presentasi, untuk belajar bersama tentu membutuhkan tata letak mebeler yang berbeda. Silahkan guru dan siswa tentukan tata letaknya mebeler sesuai dgn kebutuhan tersebut.
b.      Jarak yang aman & spacious
Menata letak mebeler kelas bukan asal tidak konvensional saja, namun ada patokan yang harus diperhatikan. Jarak antara perangkat mebeler itu harus diperhatikan jangan sampai penataan yang salah membuat ruang kelas jadi sempit dan jarak antara mebeler itu jadi jarak yang tidak aman. Jraka antar mebeler harus dibuat leluasa (spacious) karena tata letak perabotan kelas tidak boleh menggangu ruang gerak guru dan siswanya sekaligus. Tata letak ruang kelas tetap harus memberi ruang pada guru dan siswa untuk bisa bergerak cepat ke segala arah. Ini penting bagi seorang guru yang harus menjaga ketenangan siswa sekelas.
c.       Perhatikan kenyamanan dalam proses belajar mengajar
Tata letak perabotan kelas juga tidak boleh membuat siswa tidak nyaman dalam belajar krn dia terjepit mebeler atau terhalang pandangannya saat belajar.
d.      Mendukung pengontrolan kelas.
Guru adalah manger kelas, dia wajib mampu mengatur dan mengontrol kondisi dan admosfir belajar dikelasnya. Tata letak perabot dan mebeler kelas harus tidak boleh menghalangi gerak guru untuk bisa mendekati semua siswanya.  Sehingga kalau ada kejadian gawat darurat guru atau siswa yang lain bisa cepat mendatangi lokasi kejadian.
e.      Pastikan semua siswa kelihatan .
Pengaturan ruang kelas juga harus masih memungkinkan guru melihat seluruh siswanya tanpa adaa yang terhalang baik oleh perabot kelas atau oleh temannya. Siswa yang terhalang dari pandangan guru akan cenderung bikin ulah atau tidak memperhatikan tugasnya (tidak on task). Dan artinya guru tidak boleh membeirakan muridnya sembunyi. Murid yang gemar duduk dibarisan belakang adalah tipe siswa yang suka sembunyi. Kalau mereka dibiarkan seperti itu jiwa mereka tidak akan berkembang dengan baik kaarena rasa tidak percaya dirinya terpupuk dengan baik dan tidak ada upaya dari gurunya untuk mengholangkan.
f.        Pastikan semua siswa bisa mengakses bahan bahan dan alat alat belajar yang ada di kelas secara mudah.
Tentu kita maklum kalau kita harus memeprlakukan siswa secara adil termasuk dalam mengunakan fasilitas dan sumber belajar yang ada di ruang kelas.
g.       Tidak ada penghalang gerak di kelas.
Tata letak harus tidak menciptakan blocking di dalam kelas yang membuat siswa mauun guru tidak leluasa bergerak.

 B. Selain aspek fisik kelas juga memiliki aspek psikis atau aspek kebatinan yang harus kita perhatikan juga.

Dalam hal penanganan aspek batiniah ini kita harus perhatikan tiga hal dibawah ini:

1.       Aspek intelektual
Dalam hal intelektualitas yang akan dikembangkan dalam kelas, seorang guru harus memastikan bahwa bahan ajarnya, selain menambah wawasan dan pengetahuan para siswanya, guru juga harus memastkan hal yang diajarkan bisa juga menyokong perkembangan disiplin dan sikap mental serta karakter siswanya. Oleh karena itu dalam mengajar guru harus menyampaikan expektasi atau harapan yang harus dipenuhi siswanya secara jelas.  Itulah sebabnya guru wajib menjelaskan apa yang akan diajarkan dan apa gunanya bila siswa menguasai hal tersebut dan seberapa jauh siswa harus memahami dan mengerti nahan ajar tersebut. Expektasi tersebut bisa dipenuhi bila mana didukung dengan tugas tugas yang menantang dan menggugah rasa ingin tahunya siswa. Guru jangan sampai terjebak dalam pemberian tugas yang kering dan membosankan pada siswanya. Kedisiplinan siswa dalam mengerjakan tugas dan belajar juga harus tetap dijaga dalam irama yang tinggi, itulah kenapa guru harus memberikan masukan yang jelas dan cepat pada semua kerjaan yang dilakukan siswanya.

2.       Aspek mental spiritual
Selain intelektualitas yang memadahi, siswa juga harus diajarkan pengembangan kepribadian, sikap dan karakternya. Semua sikap mental ini akan lengkap dan mantap apabila guru juga bisa memasukan nilai nilai spiritualitas pada diri siswanya. Sehingga siswa bisa mengembangkan rasa percaya dirinya, daya tahannya terhadap stress, kemampuan memecahkan permasalahannya berdasarkan nilai nilai religius dan spiritual yang baik.

3.       Aspek sosial
Dalam proses belajar mengajar guru juga wajib memastikan adanya aturan ataupun standard tingkah laku yang jelas pada siswanya. Sehingga siswa bisa saling menghormati dengan sesamanya dan juga tunduk patuh dan hormat pada gurunya. Untuk mengembangkan kemampuan berinteraksi dan komunikasinya, siswa wajib diberi kesempatan bekerjasama dalam proses belajarnya. Selain itu guru harus menghidupkan semangat kebersamaan, kesamaan penanganan, keadilan, semangat saling menghormati. Untuk membangun itu semua guru diharapakan banyak pengetahuannya, tidak menjaga jarak, dan cepat tanggap pada segala situasi.
4.       Aspek emosional
Secara emosional guru wajib menjaga semangat belajar, rasa ingin tahunya siswa dan yang paling penting kehormatan siswa. Oleh karena itu buatlah situasi yang nyaman dalam belajar; hilangkan suasana kompetisi dalam kelas yang akan menempatkan banyak siswa jd pecundang karena tidak bisa juara kelas atau tidak mampu mengerjakan tugas dgn sempurna. Menempatkan posisi pecundang pada siswa akan mengganngu mereka secar emosional yang akanmembuat tidak nyaman suasana belajarnya. Kenali latar belakang dan sifat masing masing siswa agar bisa menangani emosi siswa secara tepat. Kealahan kesalahan kecil yang dilakukan siswa ada;ah biasa jangan terlalu diperbesar agar tidak merusak suasana emosinya.

Pendidikan Abad 21 Wajib Mendorong Siswa Untuk Melek Informasi.

  Sudah berulang kali penulis sampaikan bahwa pendidikan di abad 21 haruslah bersifat berbagi informasi, tidak lagi bersifat penyuapan inf...