Sejak sekitar dua dasawarsa terakhir
banyak kita dengar para pemerhati, para pakar dan para pelaku pendidikan di
tanah air tercinta berbicara tentang
pergeseran paradigma dan metodologi pendidikan yang bakal terjadi diwaaktu yang
dekat dan oleh karena itu perlulah kiranya dunia pendidikan memulai
mentransformasi diri menuju bentuk pendidikan yang sesuai dengan jaman dimana
para pelajar akan berada. Nyatanya memang pergeseran dan perubahan di dunia
pendidikan walau dengan sangat pelan terjadi di negri ini. Pergantian kurikulum
nasional yang begitu sering adalah salah satu indikasi bahwa sedang terjadi
evolusi pendidikan secara nasional. Kurikulum yang berubah rubah adalah bentuk
nyata dari kegamangan pemerintah dalam menentukan bentuk pendidikan yang tepat
bagi anak bangsa.
Perubahan paradigma pendidikan
bukan hanya terjadi di indonesia,
dibelahan dunia dimanapun, para pelaku pendidikannya sedang sibuk membelokkan
arah pendidikan yang menurut mereka akan sesuai dengan kebutuhan masa depan.
Perubahan struktur, bentuk, paradigma, muatan, dan arah pendidikan yang terjadi
diyakini juga akan menggeser peran peran tradisional di dalam dunia pendidikan.
Eric Jordan, President Premier’s Technology Council menengarai model baru pendidikan
dimasa depan yang lebih kolaboratif dan inklusif, akan mengubah peran peran tradisonal
dari siswa, guru, dan orangtua. Beberapa pergeseran sudah lama dimulai, seperti
hubungan antara guru dan siswa telah berevolusi perlahan-lahan. Kita secepatnya
akan terpaksa mempercepat transformasi dari sistem pendidikan dan peran di
dalamnya ke arah yang lebih lengkap karena
begitu cepatnya pula perubahan jaman, sebagai akibat berkembangnya tehnologi yang
begitu masif. Perubahan peran yang dimaksud Jordan adalah sebagai berikut:
• Dari siswa
yang pasif menjadi pembelajar yang aktif:
Pada lingkungan pendidikan tradisional, siswa
itu ibaratnya ember kosong yang siap diisi oleh guru guru mereka sebagai
pengajar atau pendidik. Siswa tidak lagi punya kesempatan memilih apakah yang
disikan itu benar apa salah, baik apa buruk. Apa yang didapat siswa hanyalah
apa yang diketahui gurunya. Itupunkalau daya serap siswa 100%, lah kalau Cuma 20%?
Disanalah letak malapetakanya, siswa dianggap bodoh dan tidak punya harapan. Sumber
informasi, sumber pengetahuan dan bahkan sumber harapan Cuma dari satu arah,
GURU. Ketika kemajuan tehnologi menyentuh dunia pendidikan dan membawa angin
kemajuan bagi siswa. Siswa mulai mendapat kesempatan yang lebih luas untuk
menentukan sendiri jalan mana yanga akan
membawa mereka ke masa depan. Mereka mulai mengambil alih tanggungjawab atas
masa depan mereka sendiri. Mereka mulai melihat banyak sumber sumber informasi
lain selain guru mereka. Sebagai seorang guru haarus juga cepat tanggap akan
kondisi ini, jangan sampai guru akan jadi bahan tertawaan karena bertindak, berbuat
atau bahkan memberi informasi yang salah pada siswa siswinya. Kuasailah juga
tehnologi yang para siswa kuasai. Ini adalh ke harusan jangan sampai
ketinggalan jaman dan jadi bulan bulanan siswanya. Kalau guru secepatnya menyadari akan
pergeseran peran siswa ini, sebetulnya guru masih bisa ambil keuntungan dari
kondisi ini. Karena guru bisa menggunakan kemampuan belajar yang lebih terbuka,
yang lebih exploratif dikarenakan perkembangan tehnologi informasi ini, untuk
mengembangkan kemampuan siswa siswi itu sendiri dengan mengambil peran sebagai
fasilitator dan pemandu saja. Siswa siswi di era digital ini, mereka sangat
akrab dgn tehnologi dan sangat mampu menggunakan tehnologi itu untuk belajar,
dengan cara belajar yang berbeda dengan cara belajar gurunya dulu dan juga beda
dengan cara belajar yang ditawarkan gurunya. Tehnologi memebrikan ruang yang
lebih leluasa bagi mereka untuk belajar dan mengakses informasi. Selain itu
tehnologi telah menyediakan gaya hidup yang lebih fleksibel, lebih berwarna dan
menyediakan berbagai macam pekerjaan dan karir yang tidak bisa dinikmati
gurunya.
• Dari
Orang Tua sebagai Pendukung proses belajar menjadi sebagai Peserta dalam proses belajar:
Dahulu orang tua itu Cuma berperan sebagi
pendukung proses belajar mengajar bagi anak anaknya. Mereka menyediakan biaya
untuk pendidikan dan siap mencarikan keperluan apa saja demi suksesnya proses
belajar bagi anaknya. Namun kemajuan tehnologi informasi ternyata juga membawa
perubahan bagi peran mereka dalam pendidikan. Bukan saja mereka harus mampu
memberi dukungan pada proses belajar putra putrinya, tapi tehnologi telah
memberi mereka kesempatan untuk bisa ikut membimbing putra putrinya untuk
menerima atau tidak menerima informasi yang ada. Dengan tehnologi yang ada
orangtua bisa mengarahkan putra putrinya dari mana informasi yang tepat bisa
diambil dan memeberi arahan mereka dalam mengambil keputusan penting dalam proses
belajarnya. Orang tua juga bisa menunjukkan cara mengatasi tantangan yang
ada dan ikut menentukan hasil
pembelajaran, karena dengan tehnologi
yang ada orangtua dimungkinkan untuk memantau, mengkontrol dan bahkan
mengarahkan putra putrinya dari jarak yang sangat jauh. Belajar yang melebihi
apa yang disediakan sekolah adalah hal yang sangat penting dilakukan oleh siswa
jaman sekarang, dan orantua menemukan peran barunya disana.
• Dari
Guru sebagai sumber pengajar dan sumber pembelajaran menjadi guru hanya sebagai fasilitator dan penunjuk arah serta pendamping
siswa belajar.
Seperti sudah disinggung diatas, tehnologi
merubah paradigma belajar siswa, artinya paradigma guru juga pasti berubah. Tehnologi
sangat memungkinkan siswanya lebih banyak mendapat informasi dibanding gurunya.
Itu artinya sangat dimungkinkan siswa lebih banyak tahu dibanding guru. Oleh
karena itu guru sudah seharusnya tidak berlagak lagi sebagi Mr. Segala tahu.
Biarkan siswa belajar dengan gaya dan cara mereka sendiri. Guru cukup mengikuti
perkembangn informasi dan mengarahkan mereka, agar informasi yang didapat siswa
bermanfaat bagi masadepannya dan tidak malah merusak moralitas dan
spiritualitas siswa.
Sudahkah kita semua siap menghadapi perubahan
itu?
(Gresham & Elliott, 1990) mengartikan ketrampilan sosial itu
sebagai tingkahlaku yang dipelajari dan bisa diterima secara sosial yang
memungkinkan seseorang untuk berinteraksi secara efektif dengan orang
lain dan memungkinkan orang tersebut menghindari atau terlepas dari interaksi
sosial negatif dengan orang. Dengan demikian jelas bahwa yang dimaksud
ketrampilan sosial adalah kemampuan kita untuk bermasyarakat, bergaul dengan
orang lain dan berkomunikasi secara baik dengan orang lain. Ketrampilan ini
sangat diyakini sebagai prasarat kesuksesan kita dalam menjalani hidup dan
tentunya adalah salah satu kunci sukses bagi anak didik kita disekolah.
Namun nampaknya
kemampuan berketrampilan sosial ini tidak akan menunggu terlalu lama ke masa
depan untuk membuat seseorang gagal dan jadi pecundang. Sejauh pengalaman
penulis jadi guru dan dosen, penulis telah menyaksikan begitu banyak siswa
ataupun mahasiswa yang memiliki kesulitan dalam berinteraksi dan bersosialisai
dengan orang lain dan tak satupun dari mereka mempunyai prestasi akademik yang
menonjol. Bahkan siswa siswi yang ber IQ tinggipun gagal memposisikan diri
sebagi siswa yang berhasil secara akademis. Tak kurang penulispun pernah
mengalami hal yang sama. Prestasi akademis hancur luluh ketika mengalami
kesulitan berinteraksi dengan teman baru disekolah yaang lebih tinggi. Oleh karena itu, penulis mengajak pada seluruh
guru dipersada nusantara ini untuk perhatian dan membantu siswa siswi yang
mengalami kesulitan bergaul atau tidak memiliki ketrampilan sosial yang
memadahi disekolah. Hal ini perlu kita
lakukan agar seluruh siswa siswi kita benar benar optimal belajarnya dan mampu
mengembangkan potensi dirinya semaksimal mungkin.
Stephen
N. Elliott, PhD, Professor Vanderbilt
University Nashville, menyebutkan tujuh
(7) kategori mayor keterampilan sosial yang
diperlukan siswa siswi sekolah:
- kemampuan Komunikasi
Diantaranya adalah kemampuan bergantian
bicara dalam sebuah sesi percakapan. Siswa wajib diajarakan untuk sabar
mendengarkan orang bicara tidak boleh menyela sampai pembicara menyelesaikan
pembicaraannya. Sehingga siswa terbiasa menghormati orang lain dan mampu
menjadi pendengar yang baik. Setelah lawan bicara selesai berbicara barulah
kita memeberi tanggapan sehingga tidak akan timbul kegaduhan dalam pembicaraan.
Selain itu kemampuan membuat kontak mata dengan lawan bicar juga sangat penting
untuk dipelajari. Karena kontak mata itu bisa menandakan penghormatan dan
keseriusan orang yang lagi berbicara. Tanpa kontak mata yang benar pembicaraan
akan menjadi hambar dan interaksipun bisa bubar.
- Kemampuan Bekerjasama
Kemampuan bekerjasama adalah kemampuan
mengkompromikan kepentingan pribadi dengan kepentingan orang lain. Selain itu
kemampuan bekerjasama juga berarti kemampuan untuk mengedalikan diri untuk
tidak melanggar peraturan yang berlaku atau diberlakukan, karena kemampuan
bekerjasama itu meniadakan penghianatan dengan rekan kerja.
-Sikap tegas
Walau siswa diajarkan untuk bekerjasama
dengan pihak lain, yang dalam hal ini berarti harus mengkompromikan kepentingan
dan kebutuhan bersama. Namun siswa harus diajarkan sikap yang tidak kompromis
dan permisif. Siswa harus pula diajari kapan mereka harus tegas bersikap. Serta
diajarkan untuk berani mempertanyakan ketidakadilan bila diperlukan. Tanpa sikap
ini siswa akan berlari pada kondisi mudah dipermainkan dan ditipu orang lain. Oleh
karena itu etegasan sikap sangat diperlukan dan diajarkan dalam rangka
pengajaran ketrampilan sosial.
-Tanggung Jawab
Sikap tanggungjawab siswa bisa diajarkan
dengan pengajaran untuk menghormati dan menjaga properti orang lain. Selain itu
mengajarkan sikap kestria untuk berani mengakui dan mempertanggungjawabkan
perbuatan pribadi juga diperlukan untuk mempertajam sikap dan rasa
tanggungjawab siswa siswi kita.
-ketrampilan Berempati
Ketrampian berempati terdiri dari kamampuan untuk bisa ikut merasakan
penderitaan, kesusahan, kesulitan dan juga kebahagian orang lain. Siswa wajib
diajarkan untuk bersikap yang tepat saat menghadapi orang lain yang dalam
kondisi psikologis seperti itu. Ketrampilan berempati ini kalau sudah tertanam
pada diri siswa mereka akan merasa buruk kalau tidak bisa menunjukkan sikap
yang tepat saat temannya sedang dalam kondisi bersedih.
-Ketrampilan bergaul atau melibatkan
diri dalam suatu kumpulan sosial.
Ketrampilan ini akan ditandai kemampuan siswa mencari teman dengan mudah.
Mereka bisa diterima setiap orang, bisa masuk di segala kelompok. Selain masuk
dalam lingkaran kelompok tertentu kemampuan siswa juga harus dikembangkan untuk
mampu mengundang orang lain masuk dalam kelompoknya atau mengundang orang lain
untuk bersahabat dengan mereka.
-Kemampuan kontrol diri
Kemampuan kontrol diri perlu diajarkan pada siswa siswi kita agar mereka
mampu berkompromi untuk meredam konflik atau mampu mencari pemecahan
permasalahan yang berhubungan dengan pihak lain tanpa konflik terbuka. Lebih mantap
lagi adalah siswa mampu tetap tenang pada saat mereka digoda, diremehkan atau
dicaci maki.....
Akhir akhir ini banyak pendidik, ahli
pendidikan maupun pejabat pemerintahan yang berbicara tentang kecakapan hidup
yang harus diajarkan pada anak didik. Artinya saat ini banyak orang
berkeyakinan bahwa kepandaian saja tidak cukup untuk membuat siswa sukses dalam
kehidupan dibelakang hari. Salah satu ketrampilan hidup yang harus dipunya
siswa sebagai syarat kesuksesan masadepan adalah ketrampilan sosial. Apakah ketrampilan sosial itu? Menurut wikipedia ketrampialn sosial diartikan sebagai
“ any skill facilitating interaction and communication
with others”, ketrampilan yang memudahkan berinteraksi dan berkomunikasi dengan
orang lain. Tentu saja definisi tersebut masih bisa dilanjutakan dengan
menambah ‘dengan damai menyenangkan dan tanpa pertentangan maupun
ketersinggungan”.
Tentu kita semua setuju bahwa kemampuan sosial ini sangat penting bagi
siswa siswi kita untuk meraih kesuksesan jangka panjangnya. Karena ketrampilan
sosial ini akan memastikan kemampuan siswa siswi kita membawa diri ditengah tengah kehidupan
sosialnya. ketrampilan ini tak bisa disangkal lagi adalah gabungan dari kemampuan
untuk memahami diri sendiri dan mengelola emosi pribadi (Intra-personal skill) dan
kemampuan untuk memahami dan merespon orang lain (inter-perosnal skill) yang
dipadu dengan kemampuan komunikasi (commmunication skill).
Dalam kehidupan pengajaran tiapa hari
disekolah sekolah kita, sebetulnya sudah banyak guru yang menyadari pentingnya
kemampuan sosial ini. Sehingga ada begitu banyak guru yang senang sekali
memindah meindahkan tempat duduk siswa, dengan tujuan agar siswa bisa menjalin
hubungan dengan semua siswa bukan Cuma satu atau dua siswa dari sekian banyak
siswa di dalam kelas.
Namun sayangnya, dengan mendudukan siswa secara
acak atau mendudukan mereka secara bersama-sama tidaklah cukup untuk menjamin tumbuh kembangnya komunikasi
antar siswa ataupun kerja sama tim. Banyak siswa yang tidak tahu bagaimana cara berinteraksi secara
tepat dengan teman sekelas mereka. Mereka bahkan tidak memiliki keterampilan sosial yang cukup untuk
melaksanakan tugas-tugas kelompok yang diberkan gurunya, sehingga seringkali
tugas kelompok hanya dikerjakan oleh satu atau dua dari anggota kelompok dan
yang lain titip nama.
Ketidakmampuan siswa dalam masalah ketrampilan
sosial ini dimungkinkan sebagai akibat dari kesalahan belajar mengajar
disekolah. Arnold Golstein, seorang ahli
masalah masalah pengajaran keterampilan sosial untuk siswa dengan gangguan
perilaku meyakini ada empat alasan utama
mengapa siswa tidak memiliki keterampilan sosial, seperti dijelaskan dibawah
ini.
(1)
Mereka tidak tahu cara untuk bertindak ataupun merespon tindakan orang lain selain
pola perilaku yang mereka pelajari untuk lingkungan khusus mereka. Begitu mereka
berada dilingkungan yang berbeda mereka kebingungan apa yang harus mereka
lakukan.Banyak dari anak-anak kita tidak pernah belajar "perilaku yang
tepat" untuk pada kondisi sosial tertentu, situasi di mana mereka harus
berinteraksi berhubungan dengan orang lain yang berbeda. Mungkin mereka tidak
menerima bimbingan yang tepat dalam hal ini di rumah,baik karena orang tua yang
tidak peduli, atau karena sistem nilai-nilai dan lingkungan mereka berada
memang tidak sama dengan yang dirumah. Mungkin saja mereka memiliki pendidikan
tingkah laku , etika dan sopan satun yang baik di rumah dan lingkungannya,
tetapi anak-anak kita tidak menjumpaia nilai nilai yang sama disekolah sehingga
anak anak jadi gamang dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.
(2)
Mereka bisa saja sebetulnya tahu bagaimana berperilaku, tetapi mereka belum biasa
ataau belum punya cukup latihan untuk berlaku seperti itu, biasanya ini
dikarenakan siswa siwa ini merasa inferior, berbeda atau merasa bukan golongan dari teman temannya.
Sementara mereka sebetulnya menunggu teman temannya yang menarik siswa siswi
ini dalam percaturan sosial dan pergaulan, tapi sering seringnya undangan yang
diharap pun tidak datang. Maka siswa siwi ynag kesulitan bergaul ini jadi makin
tersisih saja. Makin lama malah akan jadi siswa yang aneh.
(3) Mereka sebutul pernah mencoba suatu cara
untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman temannya, tetapi usahanya tidak berhasil pada saat percobaan pertama
kali, sehingga mereka menganggap bahwa memang mereka tidak akan bisa bergaul
dengan teman temannya. Mengingat pengalaman kegagalan mereka itu, mereka akan
kembali pada titik nol dan mencoba bertahan disana, sampai ada yang memasukkan
dalam pergaaulan yang mereka inginkan. Sudah
jamaknya kita manusia kalau pernah mencoba melakukan sesuatu dan gagal jarang
ada yang berani mencoba lagi. Begitu pula siswa siswi kita, ketika mereka gagal
bergaul dengan teman temannya pada percobaan pertama mereka akan cenderung berhenti
melakukannya
(4) Adanya
ketegangan dan kecemasan yang merusak kemampuan untuk melakukan perilaku yang
bisa diterima dalam lingkungan sosial dalam kehidupan nyata. Kondisi psikologis ini
sering sering menjadikan siswa siswi kita salah tingkah, yang akan berujung
pada tingkah laku yang wagu dan kelihatan lugu. Dalam kondisi ini akan
dipandang oleh teman temannya sebagai lucu atau malah menyebalkan, sehingga
siswa yang salah tingkah ini jadi tidak cukup berharga untuk “ditemani”. Jadilah
hambatan siswa ini untuk mampu bergaul dan berinteraksi semakin besar.
Itulah sebabnya sekolah sebagi institusi
pendidikan wajib membuat program khusus untuk menolong siswa siswinya yang
kurang mampu bersosialisasi atau yang tidak memmiliki ketrampilan sosial ini.
Umumnya, kurangnya keterampilan sosial ini dikarenakan kurangnya
kesempatan untuk belajar atau kurangnya contoh model perilaku yang sesuai (Gresham
& Elliott, 1989). Kemudian apakah yang harus diajarkan guru pada muridnya
yang kesulitan dalam kehidupan sosialnya ini? Hazel, Schumaker, Sherman, dan SheldonWildgen
(1981) dalam ; ASET: Sebuah program keterampilan sosial bagi remaja. Champaign,
ll: Penelitian Press, mencatat delapan keterampilan sosial yang mendasar yang
dapat diajarkan melalui instruksi langsung dilingkungan sekolah:
1. Kemampuan memberikan umpan balik secara positif
(misalnya, berterima kasih dan memberikan pujian).
2. Kemampuan memberikan umpan balik negatif
dengan santun (misalnya, memberikan kritik atau koreksi),
3. Kemampuan menerima umpan balik negatif
tanpa permusuhan atau reaksi yang tidak sepantasnya,
4. Kemampuan menolak tekanan rekan untuk ikut
berpartisipasi dalam perilaku nakal,
5. Kemampuan memecahkan masalah pribadi,
6. Kemampuan menegosiasikan permasalahan
dan solusinya yang dapat diterima
bersama ,
7. Kemampuan mengikuti petunjuk, dan
8. Kemampuan memulai
dan mempertahankan percakapan.
Singkatnya, siswa dengan kekurangan
kemampuan sosial dan belum punya keterampilan sosial ini tidak mungkin untuk
belajar sendiri atau belajar secara kebetulan.
Intervensi dari guru dan sekolahan serta orangtua sangat diperlukan. Mereka memelukan metode pembelajaran yang
efektif meliputi demonstrasi / pemodelan dengan praktek dipandu dan umpan serta
situasi yang mendorong mereka untuk belajar berkomunikasi dan bergaul dengan
banyak orang.
Kalau kita
mengharap keteraturan haruslah ada standard atau aturan yang dijalankan. Logika
ini sudah lama berlaku dan masih berlaku sampai sekarang. Logika keteraturan
memelukan aturan juga diyakini oleh sekolah sekolah kita, makanya tidak ada
satu sekolahpun dimuka bumi ini yang tidak punya peratura ataupun tata tertib
sekolah. Bahkan banyak sekolah yang menuliskan besar besar peraturannya didepan
sekolah agar semua orang bisa membaca dan mengerti, walau tujuan yang
sesungguhnya adalah agar team assesor akreditasi sekolah melihatnya. Iya nggak?
Walau membuat
tata tertib sekolah adalah hal yang biasa dilakukan oleh guru dan sekoah
manapun, akan tetapi sangat jarang guru atau sekolah yang berfikir apakah
aturan main yang mereka gariskan itu akan bisa efektif dijalankan atau akan berakhir
seperti banyak aturan yang lainnya; aturan tinggal aturan kapan dilaksanakannya
kapan, itu tidak terlalu penting. Bahkan ada adagium kalau peraturan itu dibuat
untuk dilanggar. Mengenaskan bukan?
Nah bapak dan
ibu guru yang saya hormati, kalau bapak dan ibu ingin seluruh usaha pendidikan
yang bapak dan ibu guru lakukan bermakna, tentu baapak dan ibu guru harus membuat
segala sesuatu yang dilakuan harus
bermakna pula. Termasuk tata tertib yang bapak ibu buat. Kalau peraturan yang
bapak dan ibu guru tetapkan tidak dilakukan secara efektif bapak daan ibu guru
sudah membuka peluang untuk membuat semua yang bapak ibu lakukan disekolah
kurang bermakna bagi siswa. Kalau tidak ada hal yang berarti dan bermakna bagi
siswa, mereka akan meremehkan semua hal yang ada, termasuk diantaranya mereka
akan meremehkan pelajaran yang ada, meremehkan gurunya dan bahkan tidak
menganggap penting sekolah. Bagaimana juga
kita mengharapkan mampu mencetak manusia manusia yg berdisiplin tinggi,
berkarakter baik, dan berprofil hebat, kalau tidak ada tuntunan kedisiplinan
dari gurunya?
Kelemahan kita
untuk secara disiplin menerapkan tata tertip atau aturan sekolah adalah karena
peraturan sekolah terlalu rumit dan panjang lebar sehingga sulit untuk diingat,
bahkan untuk membacanya pun ga ada yang sempat; termasuk guru gurunya. Kondisi begini
akan mendorong pada pembiaran setiap pelanggaran karena gurupun akan malas
mencari pasal yang dilanggar siswa. Paling mentok guru paling akan bilang ‘eitt
ga boleh begitu’ sambil berlalu. Efeknya siswa merasa bahwa apa yang dilakukan
masih OK maka besok pelanggarannya akan ditingkatkan kadarnya. Kekacauan yang
dibiarkan dalam jangka waktu yang lama akan menjadi kebiasaan. Kebiasaan akan
jd karakter. Dan karakter tidak disiplin inilah yang sekarang mendominasi watak
siswa siswi kita diseluruh pelosok negri. Itu artinya tidak banyak sekolah yanh
konsisten memegang teguh peraturannya. Bolos,
tidak mengerjakan PR, berani sama gurunya, tidak ada sopan santunnya, pelcehan
sexsual, sex bebas dikalangan pelajar, tawuran adalah buah dari ketidakpedulian
guru atas peraturan sekolah.
Nah akibat
pembiaran ketidak disiplinan ini tentu tidak akan kita biarkan terus terjadi
bukan? Bagaimana caranya? Ya kita mulai dari bikin aturan yang mudah
dijalankan. Dalam tulisan yang ga
beraturan ini saya akan jelaskan beberapa syarat membuat peraturan sekolah yang
bisa dijalankan dengan efektif.
•bisa dimengerti
membuat peraturan sekolah haruslah menggunakan kata kata yang lugas dan
tidak bersayap, agar bisa dimengerti. Dengan
mudahnya aturan dipahami siswa, bukan saja siswa akan mudah menjalankan aturan
tersebut, tapi juga siswa tidak akan mampu membantah kalau mereka melanggar
peraturan tersebut, karena semuanya sudah jelas. Dan artinya gurupun akan
dengan mudah menunjukkan kesalahan yang dilakukan siswa.
•bisa dilaksanakan
Syarat kedua
peraturan adalh bahwa peraturan itu haruslah mudah dilaksanakan. Peraturan seperti
“siswa harus menciptakan suasana yang kondusif untuk memperlancar kegiatan
belajar mengajar” atau “Siswa dilarang mengenakan riasan yang berlebihan, tidak
wajar, dan tidak sesuai dengan umurnya” adalah peraturan yang tidak jelas dan
oleh karena itu akan sangat sulit dilaksanakan. Jadi buatlah peraturan yang
lebih sederhana bahasanya dan bisa dilaksanakan.
• tidak melanggar kehormatan dan
pribadi seseorang
Peraturan juga tidak boleh melanggar kehormatan pribadi seseorang atau
golongan. Siswa siswi kita berkarakter beda dengan siswa siswi yang sekolah
tahun 70-80an. Pada tahun tahun 70an mayoritas sekolah mempunyai siswa yang homogen; dari suku yang sama,
oakai bahasa yang sama, adat istiadatnya sama, kebudayaannya sama, agamanya
sama, bahkan makanannya dan tingkat kelas sosialnyapun sama. Sehingga peraturan
akan lebih gampang dibuat. Sekarang siswa siswi kita lebih beragam baik asal
usul, kebudayaan, agama, kebiasaan, kelas sosialnya juga berlainan, oleh karena
itu buatlah peraturan yang tidak menyinggung salah satu dari mereka.
•Jangan menggunakan kata “jangan” ataupun “tidak”.
Kalau saya katakan bikin peraturan jangan memakai kata “jangan” ataupun “tidak”,
biasanya para guru selalu merespon dengan kalimat ‘ iya, betul karena kita
harus selalu berfikir positif, positive thinking”. Dan biasanya saya merespon balik dengan
tersenyum sambil berkata, “benar sekali, kita harus selalu berfikir positif,
berfikir positif akan membuat semangat kita tak pernah padam, tidak ada kata ‘putus
asa”. Namun sebetulnya latar belakang dari peraturan yang tidak memakai kata “jangan”
ataupun “tidak”, bukanlah masalah positive thinking. Karena kedua hal itu berbeda dan tidak berada
di kapal yang sama. Kata “jangan” ataupun “tidak” dalam peraturan itu pada
galibya akan membingungkan siswa maka kita tidak boleh memakainya. Dengan berteriak
“jangan berisik!” bapak dan ibu guru memang bisa mencegah siswa membuat gaduh
kelas, namun siswa masih belum mengerti apa yang gurunya inginkan mereka
lakukan. Coba kalau gurunya berkata ; “ semuanya duduk yang rapi dan dengarkan
saya!” siswa langsung tahu apa yang harus dilakukan dan ngerti apa yang harus
ditinggalkan.
•Tegas
Peraturan yang tegas adalah peraturan yang dilakukan secra efektif,
artinya siapa yang melanggar akan mendapat konsekwensi dari pelanggran yang
dilakukan. Oleh karena itu peraturan yang diberlakukan harus disertai
konsekwensinya.
•Adil
Peraturan akan terasa adil kalau dilakukan tanpa pandang bulu, siapapun,
kapanpun dimanapun peraturan dilakukan maka konsekwensi itu harus dijalankan.
Padang bulu juga berarti bulunya pak guru dan bu guru, artinya pelanggran itu
diketahui guru yang mana saja maka konsekwensi itu akan tetap berlaku. Sebab kalau
hanya satu dua guru saja yang menjalankan peraturan dengan benar maka siswa
akan membuat penilaian tersendiri pada masing masing guru. Dan ini akan tidak
bagus bagi pengembangan disipilin, watak, dan tabiat siswa. Selain peraturan
harus dipatuhi oleh siswa seluruh komponen sekolah juga harus seia sekata
menegaka aturan tersebut.
•Konsisten
Konsisten itu bermakna konstan, tetap atau sama. Peraturan yang
diberlakukan disekolah haruslah selalu konsisten, semua orang diperlakukan
sama. Jangan sampai hari ini si A tidak mengerjakan PR, dia diminta mengerjakan
Prnya diruang guru saat istirahat sehingga dia tidak sempat istirahat dan makan
siang, besoknya si B tidak mengumpulkan PR cum diomel omelin saja atu bahkan
dibiarkan saja. Ketidak konsistenan ini akan mebuat siswa tidak akan
menghormati peraturan, guru dan sekolahnya. Kalau sudah begitu harapan untuk
mendidik siswa kita jadi pribadi yang
matang dewasa tidak akan pernah terwujud. Dan kita akan kembali mendapati siswa
kita hamil diluar nikah, atau tawuran dijalan.
Sebagai tambahan pemahaman,
penulis sarankan untuk mengajak siswa membuat peraturannya sendiri dan
menetukan konsekwensinya. Dengan melibatkan siswa dalam membuat aturan kita
telah mengajarkan rasa tanggungjawab, kepercayaan pada diri sendiri, dan
sekaligus mereka merasa dipentingkan. Begitu peraturan dan konsekwensinya jadi,
siswa akan lebih merasa wajib patuh karena peraturan itu mereka yang membuat
sendiri. Untuk konsekwensinya guru harus hati hati dalam mengarahkan siswa saat
membuatnya. Jangan sampai konsekwensi berubah jadi hukuman yang merendahkan
derajat siswanya. Untuk hal ini mungkin bisa dibaca diartikel saya yang lain, Hukuman, konsekwensi, dan siswa nakal dalam manajemen
tingkah laku (behaviour management). Selamat membuat peraturan
ataupun tata tertib sekolah. Semoga sukses...
Maaf sekali , penulis sudah lama sekali tidak menambah tulisan, tapi syukurlah Alhamdulillah akhirnya tulisan ini bisa sampai di hadapan sidang pembaca.
Seperti sudah berulang kali
penulis sampaikan bahwa kunci keberhasilan pendidikan di sekolah adalah
kemampuan guru untuk membangun dua aspek psikologis siswa di kelas yaitu; rasa
aman dan nyaman. Rasa aman yg didapat
siswa akan berpengaruh pada tingkat kesiapan kejiwaan siswa dalam menuntut
ilmu. Perasaan aman dan terjauh dari ancaman fisik dan ancaman mental membuat
siswa bersemangat dalam belajar dan bangkit rasa ingin tahunya. Tiada kecemasan
yang bersinggasana di hati membuat siswa makin berani mengeksplorasi ilmu yang
mereka butuhkan dan berani mengexplorasi kemampuan diri. Sehingga sehatlah
perkembangan intelektualitas, semangat dan jiwanya.
Di lain pihak rasa nyaman akan
menjamin tingkat kesiapan siswa secara fisik untuk bertumbuh kembang. Kenyamanan
mengindikasikan tidak adanya aral atau gangguan secara fisik pada siswa yang
sedang belajar. Kenyamanan menjauhkan siswa dari keluhan dan alasan untuk tidak
belajar dgn baik. Kalau dua kondisi tersebut bisa diwujudkan sekolah ataupun
bapak/ibu gurunya, betapa dahsyatnya hasil pendidikan yang akan dibawa pulang
oleh siswa siswinya.
Nah dalam tulisan ini, mari kita
coba apa yg bisa kita lakukan di kelas untuk menciptakan kondisi aman dan
nyaman tersebut demi masa depan siswa siswi kita dan masa depan bangsa ini
secara umumnya. Karena pengajaran dan pembelajaran itu terjadi di ruang kelas
maka tentu tidaklah aneh kalau saya katakan bahwa yang harus kita lakukan adalh
membenahi kelas kita. Kelas memang
berwujud fisik namun sejatinya ruang kelas juga memiliki bagian psikisnya. Oleh
krena itu untuk menciptakan kelas yang aman dan nyaman bagi siswa siswi kita,
kita harus membenahi dua aspek yang melingkupi ruang kelas kita tersebut.
A.Kita mulai
dari pembenahan ruang kelas kita secara fisik dulu.
Hal pertama yang harus kita
perhatikan dari ruang kelas kita secara fisik adalah tata letak atau lay-out
dari perabot dan peralatan belajar lain di kelas. Karena tata letak kelas ini
akan berengaruh pada kemampuan guru menangani dan mengatur kelas serta jalannya
belajar selama guru itu mengajar. Bahkan
tata letak / lay-out sebuah kelas akan besar pengaruhnya pada gaya belajar siswa
dan metodologi pengajaran yang akan diterapka seorang guru. Tata letak kelas yg
tradisional dengan bangku yang berderet deret kebelakang misalnya, tidak akan memungkinkan guru
mengajar dengan metode active learning, atau student-centered learning. Hal ini
disebakan oleh kondisi tata letak yang membuat siswa menghadap ke satu arah dan
guru hanya bisa berada didepan kelas dalam mengajar. Kondisi ini lebih
mendorong guru untuk ceramah ketimbang mendorong guru untuk mengembangkan
metodologi pengajaran yang lain. Akhirnya mau tidak mau suka tidak suka, active
learning tidak akan pernah terjadi dgn tata letak yang tradisional. Dengan begitu
jelas, penulis mendorong gurur untuk mampu membuat lay-out kelas yang lebih
fleksibel dan memungkinkannya siswa belajar lebih aktiv namun terasa aman dan
nyaman. Sebagai panduan ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan guru dalam
mendisin ulang tata letak di dalam kelasnya:
a.Tata
letak sesuai
dengan kebutuhan
Tata letak mebeler
dalam kelas harus disesuaikan dgn kebutuhan pengajaran. Untuk memebri ujian,
untuk diskusi, untuk presentasi, untuk belajar bersama tentu membutuhkan tata
letak mebeler yang berbeda. Silahkan guru dan siswa tentukan tata letaknya
mebeler sesuai dgn kebutuhan tersebut.
b.Jarak yang aman & spacious
Menata letak mebeler kelas bukan asal tidak
konvensional saja, namun ada patokan yang harus diperhatikan. Jarak antara
perangkat mebeler itu harus diperhatikan jangan sampai penataan yang salah
membuat ruang kelas jadi sempit dan jarak antara mebeler itu jadi jarak yang
tidak aman. Jraka antar mebeler harus dibuat leluasa (spacious) karena tata
letak perabotan kelas tidak boleh menggangu ruang gerak guru dan siswanya
sekaligus. Tata letak ruang kelas tetap harus memberi ruang pada guru dan siswa
untuk bisa bergerak cepat ke segala arah. Ini penting bagi seorang guru yang
harus menjaga ketenangan siswa sekelas.
c.Perhatikan kenyamanan dalam proses belajar mengajar
Tata letak perabotan kelas juga tidak boleh membuat
siswa tidak nyaman dalam belajar krn dia terjepit mebeler atau terhalang
pandangannya saat belajar.
d.Mendukung pengontrolan kelas.
Guru adalah manger kelas, dia wajib mampu
mengatur dan mengontrol kondisi dan admosfir belajar dikelasnya. Tata letak perabot
dan mebeler kelas harus tidak boleh menghalangi gerak guru untuk bisa mendekati
semua siswanya. Sehingga kalau ada
kejadian gawat darurat guru atau siswa yang lain bisa cepat mendatangi lokasi
kejadian.
e.Pastikan semua siswa kelihatan .
Pengaturan ruang kelas juga harus masih
memungkinkan guru melihat seluruh siswanya tanpa adaa yang terhalang baik oleh
perabot kelas atau oleh temannya. Siswa yang terhalang dari pandangan guru akan
cenderung bikin ulah atau tidak memperhatikan tugasnya (tidak on task). Dan artinya
guru tidak boleh membeirakan muridnya sembunyi. Murid yang gemar duduk
dibarisan belakang adalah tipe siswa yang suka sembunyi. Kalau mereka dibiarkan
seperti itu jiwa mereka tidak akan berkembang dengan baik kaarena rasa tidak
percaya dirinya terpupuk dengan baik dan tidak ada upaya dari gurunya untuk
mengholangkan.
f.Pastikan
semua siswa bisa mengakses bahan bahan dan alat alat belajar yang ada di kelas
secara mudah.
Tentu kita
maklum kalau kita harus memeprlakukan siswa secara adil termasuk dalam
mengunakan fasilitas dan sumber belajar yang ada di ruang kelas.
g.Tidak
ada penghalang gerak di kelas.
Tata letak
harus tidak menciptakan blocking di dalam kelas yang membuat siswa mauun guru
tidak leluasa bergerak.
B. Selain
aspek fisik kelas juga memiliki aspek psikis atau aspek kebatinan yang harus
kita perhatikan juga.
Dalam hal
penanganan aspek batiniah ini kita harus perhatikan tiga hal dibawah ini:
1.Aspek intelektual
Dalam hal intelektualitas yang akan dikembangkan dalam
kelas, seorang guru harus memastikan bahwa bahan ajarnya, selain menambah
wawasan dan pengetahuan para siswanya, guru juga harus memastkan hal yang
diajarkan bisa juga menyokong perkembangan disiplin dan sikap mental serta
karakter siswanya. Oleh karena itu dalam mengajar guru harus menyampaikan
expektasi atau harapan yang harus dipenuhi siswanya secara jelas. Itulah sebabnya guru wajib menjelaskan apa
yang akan diajarkan dan apa gunanya bila siswa menguasai hal tersebut dan
seberapa jauh siswa harus memahami dan mengerti nahan ajar tersebut. Expektasi tersebut
bisa dipenuhi bila mana didukung dengan tugas tugas yang menantang dan
menggugah rasa ingin tahunya siswa. Guru jangan sampai terjebak dalam pemberian
tugas yang kering dan membosankan pada siswanya. Kedisiplinan siswa dalam
mengerjakan tugas dan belajar juga harus tetap dijaga dalam irama yang tinggi,
itulah kenapa guru harus memberikan masukan yang jelas dan cepat pada semua kerjaan
yang dilakukan siswanya.
2.Aspek mental spiritual
Selain intelektualitas yang memadahi, siswa juga harus
diajarkan pengembangan kepribadian, sikap dan karakternya. Semua sikap mental
ini akan lengkap dan mantap apabila guru juga bisa memasukan nilai nilai
spiritualitas pada diri siswanya. Sehingga siswa bisa mengembangkan rasa
percaya dirinya, daya tahannya terhadap stress, kemampuan memecahkan
permasalahannya berdasarkan nilai nilai religius dan spiritual yang baik.
3.Aspek sosial
Dalam proses belajar mengajar guru juga wajib
memastikan adanya aturan ataupun standard tingkah laku yang jelas pada
siswanya. Sehingga siswa bisa saling menghormati dengan sesamanya dan juga
tunduk patuh dan hormat pada gurunya. Untuk mengembangkan kemampuan
berinteraksi dan komunikasinya, siswa wajib diberi kesempatan bekerjasama dalam
proses belajarnya. Selain itu guru harus menghidupkan semangat kebersamaan,
kesamaan penanganan, keadilan, semangat saling menghormati. Untuk membangun itu
semua guru diharapakan banyak pengetahuannya, tidak menjaga jarak, dan cepat
tanggap pada segala situasi.
4.Aspek emosional
Secara emosional guru wajib menjaga semangat belajar, rasa
ingin tahunya siswa dan yang paling penting kehormatan siswa. Oleh karena itu
buatlah situasi yang nyaman dalam belajar; hilangkan suasana kompetisi dalam
kelas yang akan menempatkan banyak siswa jd pecundang karena tidak bisa juara
kelas atau tidak mampu mengerjakan tugas dgn sempurna. Menempatkan posisi
pecundang pada siswa akan mengganngu mereka secar emosional yang akanmembuat
tidak nyaman suasana belajarnya. Kenali latar belakang dan sifat masing masing
siswa agar bisa menangani emosi siswa secara tepat. Kealahan kesalahan kecil
yang dilakukan siswa ada;ah biasa jangan terlalu diperbesar agar tidak merusak
suasana emosinya.
Sebelumnya pernah saya uraikan bagaimana sekolah salah dalam mengatur dan menata pelajaran Bahasa Inggris dalam tulisan dengan judul Menyoal Ketidaktepatan Manajemen Pengajaran Bahasa Inggris di Sekolah Kita. Dan dalam yang pendek ini saya Cuma mau berbagi pengalaman tentang kesalahan dalam pemilihan buku pelajaran bahasa Inggris yang digunakan di sekolah. Dengan harapan sebagai kepala sekolah atau sebagai guru bahasa Inggris, sidang pembaca bisa menghindari kesalhan yang saya maksud.
Pendek kata saya menemukan ada 4 kesalahan yang tidak disadari sekolah dalam memilih Buku Bahasa inggris atau oleh pengarang bukunya itu sendiri. Kesalhan kesalhan yang saya maksud adalh sebagi berikut;
A. Tidak sesuai dengan psikologi perkembangan anak
Seperti yang pernah saya jelaskan ditulisan saya terdahulu, di Negara kita banyak buku pelajaran bahasa inggris yang asal tulis dan diedarkan untuk begitu saja ke sekolah sekolah kita tanpa memeperhatikan tahapan psikologis siswa yang akan menggunakan buku dimaksud. Untuk pembahasan perkembangan psikologis siswa kita bisa berkaca pada teori perkembangan yang digagas oleh Jean Piaget (1896–1980). Menurut Piaget ada empat tahap perkembangan psikologis manusia:
- sensorimotor stage, (lahirsampai usia 2 tahun)
- preoperational stage (2–8 tahun)
- concrete operational stage (8–11 tahun)
- dan formal stage (11–15 tahun keatas).
Masing masing tahap perkembangan mempunyai dinamika, kecenderungan dan hambatan sendiri sendiri yang berbeda satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang memeperhatikan dan menyesuaiakan tahapan psikologis siswa tersebut. Ambil contoh, anak SD sedang dalam tahap concrete operational stage dan yang mereka perlukan bahasan yg sesuai dalam belajar dan banyak ilustrasi, model, gambar, dan kegiatan-kegiatan fisik lain, karena otak mereka belum sanggup membuat pemahaman pemahaman tingkat tinggi yang memerlukan analisa maupun abstraksi. Mereka masih memiliki kemampuan terbatas dalam pemahaman terhadap lingkungan diluar tubuh mereka. Semua hal yang bisa diindra adalah batas pemahaman dan kebenaran bagi mereka, itulah sebabnya dalam pengajaran bahasa inggris mereka juga perlu melihat, mendengar menyentuh dan mengalami langsung. Tanpa ada rangsangan syaraf di panca indranya pelajaran bahasa inggris, juga pelajaran lain, akan sia sia karena akan sangat sulit mereka mengerti dan otomatis akan sulit mereka pikirkan dan mereka hafalkan. Oleh karena itu carilah biuku buku yang memancing syaraf syaraf sensorik mereka agar pelajaran bahasa inggris bisa diterima secara penuh oleh anak anak seusia ini.
Anak dengan tingkat kedewasaan yang lebih tinggi suadah akan berada pada tahapan formal stage disini siswa sudah mulai bisa mengabstaraksi apa yang mereka dengar dan lihat dan imaginasi mereka sudah mulai mampu bekerja dengan sempurna. Buku pelajaran dengan segala macam gambar dan warna bukan sudah tidak diperlukan lagi tapi malah menggangu imaaginasi dan kemampuan abstraksi dan analisa mereka. Buku yang cocok adalh buku yang mampu memberikan tantangan pada kemampuan analisa dan abstarksi mereka; yaitu buku yang memebri keleluasaan mereka dalam melatih kemampuan bahasa mereka bukan dalam mengerjakan soal soal yang kaku dan mati tapi dalam mempraktekkan langsung bahasa sasaran pembelajaran mereka.
B. Tidak mendorong pada kondisi active learning.
Pelajaran bahasa inggris bukanlah pelajaran tentang ilmu penegtahuan. Bahasa inggris adalh pelajaran KETRAMPILAN. Ketrampilan tidak bisa ditransfer melalui pengajaran teoritis tapi bisa disebarluaskan dengan pengajaran yang bersifat praktis. Ibarat orang mau belajar main gitar tentu tidak cukup hanya membaca buku tentang bagaimana bermain gitar yang baik, tapi perlu kiranya kita pegang gitar dan membunyikannya agar pengajaran dan pembelajaran bermain gitar efektif dan efisien. Begitu juga belajar bahasa inggris, yang diperlukan bukanlah teori bahasa dan struktur bahasa yang rigid tapi kesempatan mempraktekan apa yg dipelajari. Oleh karean itu pastikan buku pelajaran bahasa inggris tidak hanya berisi hal hal berikut:
- Soal soal isian
- Teori struktur bahasa
- Kata kata yg harus dihapalkan
Tapi carilah buku pelajaran bahasa inggris yang menggiring pembacanya pada situasi yang tepat yang mengharuskan orang mengucapkan ungkapan yang tepat sehingaga pembelajar bisa belajar dan mempraktaekkan bahasa inggrisnya.
C. Tidak mencakup seluruh kompetensi bahasa
Metode Alami (Natural Method) berkeyakinan bahwa manusia belajar bahasa melalui tahapan tahapan yang berjumlah empat yaitu; mendengarkan (listening), seperti bayi yang pada awalnya mendengarkan pembicaraan orangtuanya . baru kemudian bayi akan mencoba untuk berbicara dan berakap (speaking). Setelah itu pada umunya orang akan belajar membaca (reading), kemudian setelah punya kemampuan membaca, orang akan cenderung untuk mencoba mengekspresikan diri lewat tulisan (writing). Nah tidak banyak buku peljaran bahasa Inggris yang menyediakan latihan untuk keempat komponen pokok bahasa ini. Oleh karena itu bagi sekolah atau guru bahasa inggris yang baik, cobalah mencari buku pelajarn bahasa inggris yang mampu memacu siswa untuk melatih kempat komponen bahasa tersebut.
D. Tidak mengarahkan pada penguasaan ungkapan ungkapan yg berguna.
seorang pelajar bahasa harus menguasai empat makna utama bahasa yaitu makna bahasa sebagai simbolisasi ungkapan tentang persepsi (baik/ buruk), perasaan (suka/tdk suka), rasio (benar/salah), dan keinginan (mau/tidak mau) (Nababan). Buku pelajarn Bahasa Inggris yang baik haruslah berisi pengajaran dan pelajaran tentang ungkapan ungkapan yang terkait dengan 4 makan diatas beserta kapan dan bagaiman cara mengungkapkannya. Jangan memilih buku pelajaran dengan ungkapan ungkapan yang tidak jelas dan Cuma asal banyak tulisannnya di dalam buku.
Selamat berburu buku pelajaran yang baik….bagi penerbit buku ada baiknya ikuti saran gratis dari saya ini….
Artikel ini sebetulnya sudah saya kirim ke sebuah jurnal tapi kok tidak juga dimuat, akhirnya ya wis lah saya taruksini saja, siapa tahu pembacanya malah lebih banyak dan bermanfaat sehingga saya bisa dapat sedikit tambahan pahala dari usaha yang saya lakukan ini tuk meringankan beban dosa yang saya tanggung dihadapan Ilahi Robbi nantinya. :)
Pendahuluan
Ironi terbesar dalam kehidupan manusia terletak pada permasalahan yang mereka hadapi. Di satu sisi semua orang sangat tidak nyaman, tidak suka dan sangat membenci adanya permasalahan dalam segala urusannya, namun di sisi lain permasalahanlah yang sejauh ini mendorong kemajuan kehidupan manusia sedemikian pesat. Sejarah mencatat penemuan tehnologi baik tehnologi yang sederhana maupun tehnologi yang maju, semua dipicu dari timbulnya permasalahan.
Tidak jauh berbeda dengan aspek kehidupan manusia yang lainnya, dalam pendidikan yang namanya kendala, hambatan, permasalahan , problema, konstrain atau apalah namanya juga merupakan menu keseharian bagi para guru dan kepala sekolahserta pengambil keputusan yang lain. Mengingat sebegitu akrabnya dunia pendidikan dengan permasalahan tak heranlah kalau pada dasarnya pemikiran pemikiran manajerial selalu diarahkan pada satu titik pusat, pemecahan masalah (problem solving). Seluruh teori dan analisa manajerial didasarkan pada pengandaian adanya permasalahan. Keyakinan bahwa organisasi dalam hal ini sekolah memiliki tugas tunggal menghancurkan permasalahan dipertegas keluarnya teori hambatan (theory of constraints) yang disuguhkan Dr.Eliyahu M. Goldratt seperti yang ditulis Dettmer, H. William (1997) dalam bukunya yang berjudul Goldratt's Theory of Constraints: A Systems Approach to Continuous Improvement yang dimaksudkan untuk membantu management mengurai permasalahan yang dihadapi sebuah organisasi dalam mencapai tujuan tujuannya secara berkelanjutan.
Teori konstrain yang digagas Goldratt sebetulnya hanyalah puncak gunung es keyakinan kita bahwa apa yang kita harus hadapi dan apa yang harus kita kerjakan adalah permasalahan dan pemecahannya. Jauh sebelum teori itu muncul seluruh ahli manajemen sepakat membuat teori dan menyarankan berbagai macam cara analisa yang kesemuanya, kalau diperhatikan, mengarah pada pendekatan yang langkah awalnya adalah mencari cari permasalahan. Dengan demikian bisa dipastiakan bahwa sejauh ini didunia dan seluruh isinya selalu dipandang sebagai masalah yang harus dicarikan jalan keluarnya. Pendakatan manajerial tradisional yang selalu menitik beratkan perhatian pada ada tidaknya permasalahan telah mendorong organisasi dan badan badan usaha lain untuk menyibukkan diri dengan upaya mencari hambatan dan kekurangan organisasinya. Analisa SWOT yang laris manis diajarkan dibangku bangku sekolah dan perkuliahan dalam hal ini bisa kita pakai sebagai contoh bagaimana selama ini semua organisasi bisnis sibuk mencari kekurangan dan kelemahan diri.
Pencarian kekurangan organisasi baik dalam bentuk kelemahan (weakness) maupun ancaman (threat) (Kotler, 1997) pada umumnya malah membuat sebuah organisasi mengalami ketakutan yang tidak perlu. Fokus pada pemikiran tentang kelemahan kelemahan dan kekurangan organisasi yang ada, pada prakteknya bukan menjadikan organisasi mampu mengerti kondisi riil yang dihadapi dan tahu apa yang harus dilakukan, malah sebaliknya seluruh anggota organisasi dengan jelas mampu melihat kekurangan organisasi dan bukan berusaha menutup kelemahan kelemahan itu tapi malah mulai dapat angin intuk mengeluhkan kurangnya fasilitas, kurangnya peralatan, kurangnya ketersedian bahan, lambannya aliran kebijakan, kurang tegasnya pimpinan, kurang jelasnya perencanaan dan seterusnya. Pun begitu terjadi di dunia pendidikan dalam managemen sekolah.
Alih alih menemukan kelemahan dan kekurangan sekolah bisa dipakai menjadi acuan penentuan kebijakan sekolah kedepan , kelemahan dan kekurangan sekolah malah menjadi pelemah keyakinan dan semangat kerja , menghilangkan rasa percaya diri organisasi, tidak bisa melihat dan menghargai kemampuan organisasi, serta memperuncing silang sengketa karena saling tuduh dan melemparkan kesalahan pada pihak lain. Kambing hitam laku keras untuk menangkis tuduhan kinerja yang kurang. Timbul rasa curiga dan saling tidak percaya dan konflik adalah sesuatu yang tidak terhindarkan. Untuk pembuktian thesis ini, tolong dijawab adakah dimuka bumi ini organisasi yang kosong dari keluhan dan konflik? Mungkin kearah inilah saran agar kita selalu mempunyai fikiran positif (positive thinking)(Carnegie, 1948) itu bermakna.
Kebuntuan pendekatan manajemen tradisional dengan cara pandang pemecahan masalah ini, dipenghujung akhir abad 20 dan diawal abad 21 mendorong sekelompok jenius untuk mencoba memandang kerja sebuah organisai dengan cara yang lebih elegan, manusiawi dan lebih proporsional. Dengan kepeloporan Tim Brown, seorang CEO dari IDEO, sebuah lembaga konsultan design, muncullah pandangan baru bagaimana mengelola tantangan organisasi dengan pemikiran kreatif yang tidak mendasarkan lagi pada kelemahan organisasi yang mereka sebut sebagai berfikir design (design thinking)
Permasalahan.
Seperti yang sudah diuraikan diatas pendekatan organisatoris tradisonal selalu mengandaikan bahwa didepan ada permasalahan dan kita harus mencari solusi terbaik dari permasalahan yang ada. Mudah sekali ditebak bahwa pada akhirnya baik pemikiran maupun solusi yang kita ambil pasti tidak akan pergi telalu jauh dari pokok persoalan yang kita temukan. Pikiran, konsep, visi, daya khayal, kreatifitas kita hanya berputar selingkup permasalahn yang kita temukan. Kondisi ini akan membuat solusi yang kita hasilkan untuk permasalahan yang ada jadi tidak kreatif dan kebanyakan selalu berbentuk perbaikan dari kondisi yang sebelumnya, jarang sekali solusi dari permasalahan itu berbentuk inovasi manajerial. Ketidakkreatifan kita atas permasalahan organisasi ini sering kali membuat keputusan yang kita ambil tidak tepat dan pada gilirannya akan membuahkan ketidakberhasilan organisasi dalam mewujudkan tujuan (goal) bersamanya. Seluruh proses managerial itu tidak jarang diakhiri dengan penutupan organisasi atau badan usahanya.
Hal ini pernah juga disadari oleh Tim Brown yang dalam sebuah kesempatan menulis apa yang pernah disaksikannya dalam pengalaman managerialnya. Tim brown pernah bertanya kenapa bangunan yang dirancang arsitek jarang yang runtuh, dan jarang ada produk barang yang tidak berfungsi seperti yang diharapkan, tapi kenapa perancangan financial sebuah perusahaan ataupun sebuah Negara bisa ambruk padahal mereka sama sama melalui proses perancangan (design) yang baik dan meyakinkan? Dan kitapun bisa melanjutkan pertanyaan pertanyaan tersebut, misalnya; apakah yang salah dalam perancangan financial perusahaan, organisasi sekolah, atau bahkan negara bila dibanding dengan perancangan sebuah bangunan atau sebuah mobil? Dan bisakah konsep perancangan sebuah bangunan atau perancangan sebuah produk tangible lainya diterapkan pada perancangan financial perusahaan atau perancangan social network, perancangan struktur organisasi, rancang bangun pemasaran desain organisasi, rencana strategis, perencanaan bisnis baru, pengembangan komunitas, perancangan manajemen sekolah dan seterusnya?
Design Thinking
Design thinking adalah sebuah metode berfikir yang mengadopsi cara seorang designer memikirkan dan mengerjakan proses kreatifnya dalam mendesign sesuatu. Perbedaan yang menonjol dari proses berfikirnya seorang designer dibanding proses berfikir pada umunya adalah bahwa dalam proses kreatifnya, designer tidak memulai pemikirannya dengan pendekatan permasalahanya apa (problem -centered approach) melainkan memulai proses kreatifnya melalui empathy terhadap kebutuhan manusia. Design thinking tidak mengajarkan mencari akar permasalahan dan menemukan solusinya, namun secara unik designer dengan empathinya akan mencari kebutuhan mendasar manusia dan sama sekali tidak perlu tahu permasalahannya . Oleh karena itu dalam design thinking seorang pemikir design akan merumuskan kendala yang akan dihadapi dalam proses kreatif dan inovatifnya secara lebih hati hati. Pemilihan kata dalam merumuskan kendala awal proses kreatif sangat penting agar tidak terjebak pada pemikiran negative. Kalimat “ bagaimana cara memindahkan orang dengan lebih nyaman” akan lebih bagus jadi pilihan dari pada mengatakan “mobil ini ternyata terlalu keras sehingga penumpang tidak nyaman berkendara”, atau “apa yang dibutuhkan seorang siswa untuk bisa belajar dengan baik?” akan lebih elegan dari pada menyatakan “sekolah ini tidak memeberi rasa nyaman dan aman untuk belajar siswa”.
Dengan begitu jelas bahwa design thinking tidak terfokus pada permasalahan, tapi mengarahkan segenap kemampuan pada upaya mencari solusi agar kehidupan manusia lebih baik, selain itu design thinking juga tidak meributkan bagaimana mencari solusi atas sebuah masalah, tapi mengutamakan tindakan nyata yang cepat untuk mendapatkan solusi bagaimana membuat sejahtera kehidupan manusia. Dalam bekerja pemikir design bukan saja melibatkan pemikiran tapi juga analisa dan bahkan khayalan untuk mencapai tujuannya.
Karena design thinking tidak terfokus pada permasalaham dam kelemahan maka, proses manajerial yang didasarkan pada design thinking ini akan terlihat lebih fleksibel gerak langkahnya. Fleksibilitas berfikir design ini disebabkan karakter karakter positif yang menyertai gaya manajerial anyar ini seperti, pandangan yang lebih obyektif, ketelitian dalam detail, kemampuannya menampung pertanyaan yang paling menggelikan sekalipun, keluasannya dalm menjembatani ide paling konyol sekalipun, keberanian ambil resiko dan kesempatan yang luas akan munculnya ide ide baru yang brilian. Semua hal ini bisa muncul pada pemikiran design karena gaya pemikiran ini tidak terfokus pada masalah tapi terfokus pada upaya mencari cara mensejahterakan manusia. Jadi pemikiran pemikiran positiflah yang mendominasi prosesnya dan bukan ketakutan seperti saat pikiran terpusat pada permasalahan.
Tentu saja, sebagai sebuah metode berfikir, design thinking dalam berkreasi dan inovasi tidaklah tanpa batasan. Karena proses berfikir kreatif yang tidak ada rel dan batasannya akan cenderung terlalu tinggi awan dan tidak lagu menginjak bumi sehingga tidak realistis dan tidak bisa diwujudkan. Untuk menjaga kerealistisan ide yang dihasilkan, proses berfikir design mempunya tiga rambu rambu yang harus diperhatikan seperti gambar berikut:
Seperti yang terlihat pada iliustrasi diatas dalam berkreasi dan berinovasi seorang pemikir design akan memulai proses kerjanya berdasarkan tiga hal pokok. Pertama tama seorang pemikir design akan mengobservasi permasalahan yang ada un tuk dikembangkan bukan pada pencarian kekurangan dan kelemahan organisasi tapi permasalahan yang ada akan dilanjutkan pada langkah observasi pasar untuk mencari tahu apa sebenarnya yang dibutuhkan orang untuk menunjang kesejahteraan hidupnya (desirability) setelah kebutuhan pasar ditemukan maka disusunlah rumusan permasalahan yang ada dengan kalimat dan kata kata yang tepat agar tidak terjadi kesalahan implementasinya nanti.
Setelah kebutuhan pasar didapat dan telah terumuskan dengan baik, seorang pemikir design akan segera memikirkan ketersedian tehnologi yang akan mendukung proses kreatif dan inovatifnya (Feasibility) sebab ide yang terlalu tinggi dan tidak punya dukungan tehnologi yang memadahi cenderung akan mubadzir dan tidak bisa diimplementasikan. Dan yang terakhir, seorang pemikir design tidak akan membuat ide yang berada diluar kemampuan financial dan dukungan strategi organisasi (viability). Dengan berpatokan pada tiga hal ini seorang pemikir design akan berkarya mengolah kemampuan kreatif dan inovatifnya. Design thinking mengandaikan semua hal masuk akal dan bisa dilaksanakan. Hal ini sesuai dengan misi berpikir desain yang berupaya menubah observasi menjadi inspirasi yang selanjutnya inspirasi akan dijadikan produk atau jasa yang diharapakan mampu meningkatkan kualitas kehidupan dan kesejahteraan manusia (Brown, 2008)
Perbandingan Design Thinking dengan Managemen berbasis Konstrain.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya seluruh teori managemen dibuat dengan mengandaikan adanya masalah yang dihadapi organisasi, sehingga seluruh gerak langkah organisasi semua terfokus pada pencarian pemecahan masalah. Hal ini membuat organisasi dan orang orang yang ada di dalamnya jadi kurang kreatif dan tumpul kemampuan inovasinya. Sementara perekonomian ke depan harus sudah tertumpu pada perekonomian kreatif karena sumber daya alam sudah semakin langka (Toffler, 2004) . Dengan begitu mengandalkan manajemen yang terfokus pada pencarian dan pemecahan masalah akan bermasalah besar di dunia usaha di masa mendatang. Sekolah sebagai sebuah oraganisasi tentu juga akan merasakan hal yang sama. Sepuluh tahun yang lalu boleh jadi organisasi/ sekolah yang menguasai informasilah yang akan Berjaya. Semakin banyak informasi yang didapat makin kokohlah sebuah organisasi usaha/sekolah, oleh karena itu tehnologi informasi yang mampu menyediakan real time information laris manis diborong perusahaan dan sekolah sekolahpun tak ketinggalan menyediakan internet di dalamnya. Namun sekarang berbeda perekonomian sudah bergeser pada kreatifitas. Artinya makin kreatif seseorang atau organisasi makin tangguhlah mereka. Saat perekonomian mengandalkan capital, siapa besar siapa yang kuasa, saat informasi jadi landasan jargon bergeser menjadi siapa cepat siapa dapat. Namun saat kreatifitas menjadi raja, yang besar dan cepat tidak akan dapat apa apa, yang kreatif dan inovatiflah yang berjaya. Oleh karena itu sudah waktunya menggeser manajemen berbasis pada masalah ke perekonomian yang berbasis pada kreatifitas seperti yang dipaparkan Daniel L. Pink (2005). Dan sekolah sebagi sebuah organisasi harus juga bergeser pada fenomena perubahan managerial ini.
Theory of Constraints sebagai puncak gunung es managemen berbasis pemecahan masalah, dengan sangat jelas menerangkan bahwa perusahaan itu pasti bermasalah yang digambarkan sebagai mata rantai terlemah (the weakest chain) dan andai mata rantai terlemah itu diperkuatpun, menurut teori ini permasalahanpun akan bergeser karena pasti selalu ada rantai yang paling lemah. Terus kapan kita bisa bebas dari memikirkan masalah? Kapan pula kita bebas berkarya tanpa dihantui rasa lemah dan bermasalah?
Berbeda dengan pemikiran design yang menekankan pada kreatifitas. Hal pertama yang dicari permasalahan yang dihadapi perusahaan bukanlah pada permasalahannya itu tetapi pada apa yang sebenarnya di inginkan manusia. Gerak langkahnya bukan ditentukan permasalahannya tapi ditentukan oleh keinginan manusia. Bukan berorientasi pada permasalahan tapi pada manusia dan keinginannya. Fokusnya bukan pada pemecahan masalah tapi pada tindakan dan proses kreatif.
Dalam proses kreatifnya pemikir design akan melalui tiga tahapan pokok inovasi; pencarian ilham (Inspiration), Pengembangan gagasan (Ideation), dan upaya mewujudkan dalam tindakan (Implementation) (Brown, 2008), yang bisa dijelaskan sebagai berikut:
inspiration: inspirasi didapat dari permasalahan atau keinginan orang yang belum terpenuhi, dalam design thinking permasalahan dan hambatan tidak dilihat sebagi permasalahan tapi dilihat sebagi keinginan yang belum terpenuhi dan dijadikan motivasi atau kesempatan untuk mengasah kreatifitas memenuhi harapan itu, sehingga hasil akhirnya nanti bukan sekedar bisa mencari solusi bagi permasalahan tersebut tapi bisa menghasilakan inovasi baru. Tahapan ini mengharuskan pemikir design mengeksplorasi keinginan dan harapan orang yang terkait dengan permasalahan yang ada, pemikir design berfikir dengan empathy, mencoba memandang permasalahan dengan sudut pandang orang lain, bukan berfikir tentang solusi atas permasalahan dengan pemikiran sendiri, kemudian merumuskan arah pemikiran kreatifnya, membuat pertanyaan pertanyaan, mengumpulkan masukan masukan, membuat sketsa, membangun scenario dan perancangan.
ideation: pada langkah kedua ini pemikir design akan melewati tahap dimana proses design thinking sampai pada langkah penelusuran dan pembangkitan gagasan. Setelah beberapa gagasan opsi diketemukan, pemikir design akan memilih yang terbaik untuk dikembangkan dan dibuatkan prototype, setelah prototype tersedia pengujian atas prototype tersebut adalah hal penting berikutnya yang harus dilakukan. Pengujian model atau prototype ini jadi tema sentral pemikiran design karena design tinking mempunyai komitmen untuk bekerja semaksimal mungkin untuk kesejahteraan lahir dan bathin manusia. Keseimbangan antara fungsi fungsi praktis dan daya tarik emosional atas inovasi yang akan dimunculkan adalah hal yang penting untuk dipertimbangakan dalam gerak langkah pemikir design.
implementation: langkah terakhirnya adalah memastikan bahwa gagasan yang diolah dan dimodelkan sudah tepat, diterima pasar, dan bisa dibuktikan bahwa prototype yang ada memang handal.Dilangkah terakhir ini pemikir design dituntut mampu mengkomunikasikan temuannya pada seluruh stakeholders bahwa ide itu memang OK dan bisa dilempar ke pasar.
Dengan begitu secara keseluruhan design thinking akan mengarahkan semua orang jadi kreatif dan inovatif tanpa dibebani masalah rasa tidak percaya diri dan PR yang berat karena selalu dibayang bayangi permasalahan organisasi yang perlu dicarikan solusi. Untuk memberi gambaran yang lebih jelas dan lebih penuh akan manfaat berfikir design, ada baiknya kita menengok sebentar proses kerja yang ditawarkan Theory of constrains sebagi perbandingan.
Theory of Constrains (Goldratt, 1986) menawarkan langkah solusi dari permasalahan sebagai berikut:
Mengidentifikasi hambatan; mencari sumber masalah atau kesalahan kebijakan yang mengahambat oraganisasi menggapai tujuan tujuannya.
Memutuskan bagaimana melenyapakan hambatan dengan meningkatkan kapasitas pada pada proses produksi yang terkendala masalah.
Mengesampingkan semua proses lainnya dalam rangka mendukung keputusan untuk meningkatkan salah satu rantai proses yang terkendala.
Menghilangkan permaslahan yang ada dengan membuat perubahan pada mata rantai proses yang bermasalah.
Kalau dari prose situ ternyata permasalhannya pindah tempat, kembali lagi ke tahap pertama
Dan untuk diketahui, berdasarkan theory of constrains permasalhan itu memang akan pindah tempat. Jadi permasalahan itu langgeng adanya Cuma tempatnya yang berbeda. Dengan pemahaman hidup yang penuh masalah begini, organisasi mampu bertahan tetap hidup saja adalah sebuah keberuntungan, mengingat organisasi tersebut tentu akan berisi orang orang yang tidak percaya diri dan saling menyalahkan atas permasalahan yang selalu timbul. Kemajuan, kreatifitas dan inovasi apa yang bisa diharapkan dari organisasi yang selalu merasa bermasalah?
Kesimpulan.
Di dunia yang sudah tidak mudah lagi mendapatkan sumber sumber daya alamiah, tidak bisa lagi kita menggantungkan proses ekonomi pada bahan mentah dan bahan alam lagi, kalau sebuah sekolah kita tidak bisa lagi hanya mengandalkan pada bagusnya gedung dan fasilitas. Ekonomi kreatif adalah jawaban atas langkanya bahan bahan mentah tersebut dan pendidikan serta pengajaran yang kreatif lah jawaban dari seluruh permasalahan organisasi sekolah. Untuk bisa membuat sebuah organisasi menjadi organisasi yang kreatif dan inovatif diperlukan sebuah pendekatan mamanjemen yang tepat. Pendekatan manajerial yang tidak berfikir sempit dan menyudutkan anggota organisasi pada jerat merasa bermasalah, merasa ada yang tidak beres baik pada diri anggota tersebut maupun pada organisasi yang menaunginya. Kepercayan yang seperti ini akan mematikan kreatifitas anggota organisasi karena mereka dibuat tidak percaya diri karena merasa memikul kekurangan dan kelemahan. Design thinking menawarkan paradigm baru dalam memandang permasalahan. Dimana permasalahan tidak dipandang sebagi Sesutu yang seram yang harus segera dibasmi, tapi permasalahan dianggap sebagi peluang atau undangan untuk berkarya dengan imaginasinya, dengan kreatifitasnya dan dengan daya inovasinya.
Dengan design thinking kita bisa meramalkan dan memvisualisakan masadepan lewat inovasi. Dengan demikian organisasi ataupun sebuah sekolah mampu menentukan strategi pengembangan dimasa mendatang bukan sekedar bisa menutup kekurangan dimasa kini seperti yang dianjurkan teori kendala. Selain itu dengan inovasi organisasi diharapkan mampu menciptakan pasar pasar baru dari produk produk yang baru juga dan sebuah sekolah mamapu menghasilkan best practices pendidikan dan pengajaran yang terbarukan setiap saat. Dan bahkan tidaklah sulit pemikir design untuk menciptakan model bisnis yang baru, demikin juga seorang guru dengan pemikiran design ini, tentu akan dengan mudah menemukan variasi variasi pengajaran yang baru dan bahkan terobosan baru di dunia pendidikan dan pengajaran.
Kepustakaan.
Brown, T. (2008). Design Thinking. Havard Business Review,
Carnegie, Dale (1948), Petunjuk hidup tentram dan bahagia, Jakarta , PT Gramedia Pustaka Utama.
Dettmer, H. William. Goldratt's Theory of Constraints: A Systems Approach to Continuous Improvement. Milwaukee, WI: ASQC Quality Press, 1997.
Goldratt, Eliyahu M. (1986). The goal: a process of ongoing improvement. [Croton-on-Hudson, NY]: North River Press
Kottler, Philip (1997) , Manajemen Pemasaran, Jakarta , Prenhallindo PT
Pink, D.H. (2005). A Whole New Mind: berpindah dari jaman informasi menuju jaman konseptual. Jakarta. Penerbit Dinastindo